Monday, December 3, 2007

gundah

jika ada perahu yang melaju
di atas awan
maka laut tak perlu ada

begitu juga jika gelombang
menjadi beku
maka tak perlu karang menantang

akan ku runtuhkan awan
dan ku pecahkan gelombang
supaya tetap ada
di sini

Wednesday, November 14, 2007

14

malam ke empat belas bulan nopember
aku rindu
terlalu
hening semakin larut
tapi aku terlalu
larut

BDL/141107

Meski bukan kupu-kupu

Saat aku berimajinasi tentang kupu-kupu matahari
Rembulan menyapaku di awal malam
Cahaya lembut menyinari wajah
Menyentak tentang keberadaan kupu-kupu
Sebenarnya
Di waktu malam pun ada yang beterbangan
Meski bukan kupu-kupu
Aku rindu kelepak sayapnya di hari-hari ini

BDL/141107

Saturday, October 6, 2007

kupu-kupu

ada kupu-kupu merah jingga
sedang menghampiri kuntum
yang sedang kutanam
aku ingin memilikinya


BDL, 06/10/2007

Saturday, September 22, 2007

kedatangan

pikir ku bernyanyi lagi
berdendang lagu lama
tak pernah terasa lagi
kunikmati ketuk darinya
sambil mengucap selamat datang
dijawab senyum terkembang

BDL/22-09-2007

Monday, August 27, 2007

Balada Senja

seandainya camar ini tidak terlalu cepat berlabuh
mungkin ia bersama senja hangat yang menunggunya di batas langit
tapi memang camar harus berlabuh sebelum malam menelannya
sementara senja masih merah
menunggu camar terakhir yang melintas di ufuknya


BDL/ 270807

Saturday, June 2, 2007

Tak Lagi Ada Puisi

tidak ada puisi hari ini
mungkin juga selamanya
aku tak punya alasan untuknya
tak ada bingkisan yang harus kuberikan bersamanya
tak jua bingkai untuk memadangnya
di saat aku jauh

mungkin tak lagi ada puisi
yang teruntuk siapa

BDL, 27/12/06

Aku 3

biarlah aku bercinta lagi dengan kenangan kita
kucumbu slide-slide pertemuan kita
ku basuh abstraksi dirimu
kupeluk sapamu yang mengikatkan rindu
kucium sapa pergimu
aku bahagia, nafsuku memburu
mengejar dirimu

BDL, 6/8/2006

Aku 2

bayangmu kembali menyapaku
nostalgia yang kurindu
menyapa engkau di saat subuh mengawali hari
atau malam mengantar lelah kepada mimpi
bersama lagumu yang menjelma engkau
aku merindumu
entah sampai kapan

kupikir ku sanggup gantikanmu
tapi bukan senang kutemu
hanya rindu yang gemericikkan malam
desah dan gores senyumku
bertanya kenapa engkau pergi.

BDL 6 Agustus 2006

Kematian semakin larut

: kenangan terhadap Hamid Jabbar

Kerlap kedip sambangi malam
Suara lantang menggetar tajam
Menggelegar hendak menikam
Saat detik dan menit terasa kelam

Ya, Kau yang Maha Digjaya
Beri penggal tiga puluh detik saja
Agar dapat uraikan kuasa
Yang menghitam menjadi jelaga
Agar tiada lagi terasa oleh mereka

Ku tahu dia telah mengetuk
Pintu kubuka untuk dibentuk
Oleh angin gemerisik
Dingin yang gemerutuk

Ya, Penjaga pintu maut
Terima kasih atas menit
Pembuluh yang berdenyut
Pada rentang akhir bergelayut
Meski kutahu yang patut
Bahwa kematian semakin larut

BDL, 31 Mei 2004: 21.33 WIB

Pahit yang manis

: untuk Alm. Nurdin Febriana

Tak ada ketuk dipintu
pula bisik tertiup ditelinga
ketika kau harus berhenti
menggores pena di lembar ini
masih aku menyimpan karya dari letih kita
pula menempel sang ketika pada ku

kau pergi tak pamit
kuasa memang segala
pahit harus ada agar manis terasa
yang indah dari malam adalah malam
bukan bulan atau bintang
tapi gelap
kita tak lagi menulis

tunjukkan risalah itu di sana
tentang engkau dan kita
mengisi ruang
menikmati ritme dan fantasi
tanpa harus berdebu

BDL, 23 Februari 2004

Menulis kisah

Aku ingin menggores
menggoreskan pena di atas kertas
yang makin lama makin kumal
karena tidak pernah lagi kutuliskan kisah di sana
tapi apa yang harus kutulis

Aku sempat gamang
ingin menulis kisah kita
saat bingkai kado merah jambu
kuberikan padamu

tapi aku tak kuasa
menuliskan kisah
demikian nyata

BDL, 21 Januari 2004

Aku

Aku tak punya setitik rindu untukmu
Karena kering masih menghanguskan hati
Aku lelah menanti hujan
Yang tak tahu kapan datang

Aku masih mencarimu
Ada sedikit embun
Yang ku tahu
Amat berharga datangnya
Bagiku…


BDL, Januari 2004

Keracunan Kata

Aku melihat kerbau kemarin berjalan di trotoar pinggir sungai. Ia menatap sungai yang mengalir menembus kota membawa sampah, kotoran pabrik, rumah tangga dan manusia. tapi sesekali orang-orang yang sedang memancing di tepi sungai sambil berharap kaya itu juga melihat ada kotoran kata-kata yang mengalir. Kata-kata itu tidak kelihatan kusam, ia bersinar, memancarkan kemegahan, siapapun yang melihatnya pasti menganggapnya sebagai emas, permata dan sebagainya. Tapi semua terkejut ketika suatu hari surat kabar kota terbit pagi di samping kolom artis yang sedang mengundang birahi, memberitakan bahwa ada orang yang sekarat karena keracunan kata-kata. Wajahnya membiru, dari mulutnya keluar busa yang mengeluarkan bau kotoran, dan kalau ditengah malam orang itu akan mengigau dengan keras. Terkadang ia berteriak,

“ aku tidak melakukannya, tidak”

suatu saat juga ia mengigau dengan sedikit berbisik,

“ aku melakukannya, mereka saja yang tidak bisa membuktikannya”

setelah itu ia sering tertawa-tawa sendiri, bangun pagi ketika sang istri menyiapkan matahari pagi dengan nasi goreng buatan katering perumahan di atas piring kristal dengan sendok garpu dari perak. Atau ketika ia mandi pagi dengan spa yang dilengkapi dengan televisi sambil membaca koran pagi.

Tapi koran pagi baginya hanya kebohongan, berita tentang anak yang diperkosa paman, kakek bahkan ayahnya sendiri adalah kebohongan baginya karena ia yakin bukan paman, kakek atau ayah yang memperkosa si anak tapi si anak itu yang telah memperkosa dirinya sendiri, make up tebal, pakaian ketat, lekuk dan buah ditubuhnya untuk dipetik, entah nanti atau sekarang. Maka tertawalah sebelum orang lain yang terbahak-bahak.

Ia kembali tertawa. Ia berpikir kalau ia dahulu lebih cerdas dalam soal perkosa memperkosa ini. Istrinya yang artis itu ia peroleh dari hasilnya memperkosa, tapi bukan ia yang diperkosa sebab ia masih bisa bersabar ketika rembulan menjadi viagra di dalam kamar 133. Tapi mana mungkin artis menyukai atau bahkan meliriknya sebentar saja kalau ia tidak berani memperkosa. Mereka yang tinggal di bantaran kali dan di tepi rel kereta api pernah merasakan bagaimana diperkosa olehnya. Mereka pernah merasakan bagaimana menjadi pelampiasan nafsunya.

Memang untuk urusan seperti itu seharusnya saling menikmati, tapi justru itu yang membedakan antara sang istri, sang pelacur dengan sang korban, kalau sang istri memancarkan bintang di matanya dan bernyanyi pop melayu di telinganya dan setelah itu dibayar dengan uang belanja, uang anak sekolah dan uang-uang lainnya yang ditodongkan kepadaku maka sang pelacur memancarkan petromak di matanya, kausnya harus sering diganti kalau tidak semuanya jadi gelap waktu jabang bayi lahir, ia bernyanyi lagu dangdut yang basah-basah seluruh tubuh itu dan ia dibayar seperti sopir angkot mencari nafkah. Yang tidak menyenangkan menjadi sang korban adalah suplai energi, atau yang sering dibilang PLN sebagai pasokan daya, bagi sang korban apalah daya, hanya ada sedikit boklam 5 watt itupun kalau tidak mati lampu, lagu yang diputarkan mirip dengan aliran musik amerika yang jerit-jerit itu, entah apa namanya underground, hip hop atau apalah. Jadi tidak mungkin kalau semuanya dapat diatasi dengan peningkatan investasi seperti yang dibilang pak tua yang sudah keracunan kata-kata itu.

Akhirnya aku demam dan sepertinya juga sudah keracunan kata-kata, di badanku muncul bintik-bintik biru, ada juga yang merah dan ada yang putih karena setiap hari kusiram semua; Aku muntah darah, trombositku turun ke kadarnya yang paling rendah sekitar 25,5 kalau nggak salah, minum jambu merah sudah kucoba, jambu monyet juga padahal aku paling benci dengan binatang itu, jadi mengingatkan kepada orang itu. Lama kelamaan aku merasa lemah, tekanan darahku menjadi jauh di bawah normal sekitar 75 Rpm.

Aku tahu umurku semakin pendek karena di kepalaku mulai tumbuh tanduk dan aku punya moncong meski tidak putih, padahal aku belum pernah memperkosa, korban tidak pernah, pelacur hanya penyakit bagiku, istri pun masih dalam proposal. Lalu apa salahku? Aku keracunan kata-kata karena telah memperkosa diri sendiri.

BDL, 17 Maret 2004: 14,18

Thursday, May 10, 2007

JUNI

Masih saja aku merindu ramai, kehadiran Juni yang kembali dari lorong-lorong yang menelannya dahulu. Saat lolong lolong panjang membolongi rasaku dengan ketiadaan yang tiba-tiba, aku tak pernah menyangka. Yang Maha, aku tahu kau menginginkan sesuatu dariku, kau melihat sesuatu padaku maka Kau berikan ini di saat ku ingin mendekati. Aku tahu rasa perih dan juga rasa manis tapi tak kupahami keduanya tercampur aduk, terlarut dalam rasa yang baru.

Yang Maha, Juni ternyata masih menantiku. Aku melihat dia melambaikan tangannya kepadaku dari puncak bukit di sana, kulihat juga ia bertepuk-tepuk mencoba meyakinkanku bahwa ia yang memanggilku. Apa yang harus kulakukan, aku yang harus berlari mengejarnya ke atas bukit itu meski berkeringat dan kehabisan energi, aku punya harapan dia akan menungguku dan memberiku rasa untuk melarutkan rindu yang membeku. Tapi apakah dia akan begitu, menungguku?. Ataukah dia akan pergi saat aku belum lagi sampai mendaki tebing demi tebing yang menjadi tembok di antara harap dan nyata kita.

Ataukah aku yang memintanya untuk turun menghampiriku dengan wajah rindu yang seolah-olah. Yang pasti aku yakin itu perlu kerja yang keras, mungkinkah rindunya lebih beku dari rindu yang kumiliki sehingga dengan keadaan apapun dia akan tetap berusaha menghampiriku meski aku tak ingin menghampirinya. Dan akan kulihat dia yang berlari turun dengan tergesa-gesa dengan wajahku yang lekat di matanya hingga ia menghampiriku sebelum angin menerbangkannya dari hadapan yang gigil ini.

Bimbang ternyata bisa hidup berabad-abad, dia tidak juga bisa hilang, bahkan dia semakin lama semakin meradang dan menggerogoti yakinku yang memang sedikit. Tapi kenapa selalu saja muncul rasa di saat ku tak jua mengerti yang mana bimbang dan yang bukan bimbang, atau yang mana rasa dan yang bukan rasa, serta yang mana aku dan yang mana yang bukan aku.

Yang Maha, masihkah Juni memberikan janjinya yang tersimpan dengan rapat dalam bingkisan MU ?


BDL, 270604: 23,22 WIB

Tajamnya Pedang

Bukan seribu atau sepuluh namun hanya satu kilau yang masih kunantikan saat lepas datang untukku. Ya, aku kehilangan semuanya ketika sang kala belum lagi terasa, ketika benih belum lagi tunas. Memang sang kala adalah pedang, ia membelah dengan cepat di dada sehingga tanpa terasa aku kehilangannya. Pedang yang terbuat dari kata-kata di saat-saat pertemuan kita belum pernah terasa begitu tajamnya. Tajam itu ditempa oleh ingin dan andai yang berpijar hingga memancarkan panasnya kedalam perasaanku. Tajam itu terasah oleh tatap yang terasa secara perlahan dan menyentuh kagumku. Memang aku tak bisa menggenggam, meraih dan mengacungkannya ke udara seperti kisah pertempuran yang melahirkan heroisme, bahkan aku tak bisa menatap kilaunya karena ia teramat menyengat menyilaukan mata yang enggan berpaling.

Ellena, kau sendiri yang menancapkan pedang itu di antara dadaku dan kau telah mengalirkan merahnya darah untuk kemudian hilang dalam pori-pori bumi. Bagimu pedang yang kubuat itu tak layak untuk kau miliki, ia hanya pantas kembali menjadi bagian dari diriku, entah ada di mana. Tapi kau tak harus menancapkannya di dada, tancapkan saja di perut, kaki atau tanganku sehingga dengan demikian aku masih punya detak yang sanggup menggerakkan untuk kembali menempa dan mengasah pedang yang kuciptakan. Dada adalah bagian yang menjadi bara untuk memanasi perapian yang menempa pedang itu, dada adalah batu asah yang menajamkan pedang sehingga ia tetap mampu membelah rindu yang hendak mematahkannya.

Ellena, sungguh aku tak sanggup menahan robeknya dadaku karena pedang yang menusuk dada ini, terasa begitu dalam menghancurkan. Tak inginku melepas wajahmu yang lekat di wajahku saat kau menahan tubuhku yang gontai karena kau siram bara api dengan kebekuan dan kau pecahkan batu asah dengan angkuh. Ellena, tak seharusnya kau tusuk aku seperti ini untuk kemudian kau cari pembuat pedang yang lain dan kau hancurkan lagi.




Bandar Lampung, 10 May 2004,
00:30 WIB

Wednesday, April 11, 2007

Ketidakwarasanku

Berkali-kali kupencet tombol call ponselku untuk menghubungimu namun berkali-kali juga aku menerima jawaban kalau nomor yang aku hubungi ini tidak aktif atau berada di luar service area. Aku tidak mengerti kenapa hal ini kau ulangi lagi, kau mencoba pergi tanpa mengetuk pintuku. Apa mungkin kau memang sedang tidak aktif untuk mengenang cerita kita yang sepenggal lalu, kau juga tidak aktif untuk merasakan sentuhanku yang perlahan itu. Yang aku tahu engkau adalah perempuan yang selalu percaya pada dirinya sendiri dan mencoba untuk selalu aktif dalam melihat apapun. Engkau tidak pernah menghindar ketika perempuan yang lain menghindar di saat bumi kita semakin ditinggalkan.

Yang kuingat engkau hanya menghindar terhadap kegilaan. Di hari itu, yang sampai sekarang selalu kau ingat, engkau lari menghampiriku. Jujur saja baru kali itu ada seorang perempuan yang lari demikian histerisnya kepadaku. Sempat aku bertanya ada apa gerangan sehingga engkau berlari sambil meneriakkan namaku. Belum sempat aku bertanya engkau sudah menjawab kalau ada orang gila yang mengejarmu. Kau ceritakan dengan nafas yang masih memburu bagaimana rupa orang gila itu, bagaimana ia mengikutimu dan bagaimana engkau mencoba menghindar darinya. Jujur pula aku menjadi demikian emosi saat itu. Kenapa harus ada orang gila lagi yang menggilaimu. Tidakkah cukup aku seorang yang menggilaimu. Ternyata orang gila bisa juga merasakan bagaimana caranya kagum kepada seorang perempuan sepertimu.

Aku masih ingat bagaimana ketakutanmu pada saat itu,

“ untung aja tadi, kalau nggak entah gimana kali” katamu

Apa yang kau maksudkan dengan untung itu. Apakah engkau merasa beruntung karena dorongan takdir menuntunku untuk datang menghampirimu saat itu. Kalau untuk itu engkau tidak perlu merasa beruntung karena justru akulah yang merasa beruntung untuk melihat wajahmu saat kau panik, saat kau takut sehingga kau merasa perlu untuk memeluk tanganku, meski kau malu-malu saat itu.

Aku mencoba menenangkanmu saat itu sambil menghiburmu dengan candaan kecil hingga engkau kembali tertawa dan tersenyum. Tawa dan senyum itu menyimpan suatu ungkapan yang aku tahu enggan kau katakan. Ada ungkapan terima kasih yang kau sembunyikan. Tidak masalah buatku, karena dalam hal itu kita punya kesamaan. Sama-sama berpendapat bahwa ungkapan terima kasih akan lebih baik diungkapkan dengan tindakan, dengan kepercayaan. Dan dengan kepercayaan itu pula aku melepas engkau pergi dengan ucapan ringan agar kau hati-hati diperjalanan.

Itu adalah kenanganku yang paling dalam sekaligus juga yang paling mendasari isi di balik tiap pertemuan kita selanjutnya. Aku tahu pertemuan selanjutnya terkadang berjalan biasa saja bahkan terkadang terlalu singkat untuk memberi cerita. Kita yang keras kepala itu hanya bisa mengenang cerita tentang orang gila itu sambil tersenyum senyum. Di saat itu aku baru sadar bahwa orang gila terkadang bisa memberi manfaat yang besar. Dia bisa merekatkan kepercayaan di antara kita. Karena sejak saat itu aku merasa kau memposisikan aku pada tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Mungkin karena posisimu sebagai wanitalah sehingga engkau enggan mengungkapkan sebagai apa aku di dirimu. Hanya ada penggalan-penggalan kejadian yang ingin saja aku simpulkan dengan percaya dirinya namun aku belum berani. Aku masih terserak saat itu. Penggalan-penggalan itu ingin saja aku kumpulkan kemudian kurangkaikan lalu ku bingkai menjadi hiasan paling indah. Namun aku masih perlu waktu untuk melakukannya.

Aku memang tak ingin terlalu cepat menyimpulkan apa yang kau simpulkan tentangku. Meski aku bisa saja merasa lebih ketika kau beritahu aku kepada siapa saja kau berikan gembiramu dan kapan saja saja transit di kota ini. Aku juga belum berani menyimpulkan ketika kau datang di penggal kenangan yang tidak kuduga sebelumnya sambil membawa bingkisan buatku. Kau membawa harapan yang makin berpijar terang. Semakin terang lagi ketika kau menjadi busur panah yang membantuku menggapai suatu titik di langit. Semakin besar rasa itu.

Karenanyalah aku mulai gila. Mulai jadi penghuni jalan hanya karena harus menunggumu yang datang terlambat. Aku juga mulai jadi pengawal yang sekedar ingin membuatmu nyaman. Aku juga kau angkat sebagai pembimbingmu yang mengembara ke sebrang hanya untuk mencari pelengkap masa depanmu. Sudah demikian namun tetap saja belum berani aku lebih jauh menerobos selaput yang menjaga jarak rasa kita saat itu. Aku hanya menunggu diriku untuk sampai pada satu titik yang bisa kuteruskan untuk menulis kata sayangku padamu.

Semakin lama aku semakin punya apa yang kuinginkan untukmu dan karenanya aku merasa semakin perlu untuk mendekatkan perahuku ke dermaga yang dipenuhi dengan cahayamu. Namun entah mengapa di saat itu aku justru merasa kau semakin ingin jauh dariku. Kau perlahan mencoba memudar dari minggu-minggu yang berlalu seperti kereta malam. Yang kau sisakan hanya gerbong-gerbong kata yang singkat. Gerbong-gerbong kata yang hadir di kala malam membukakan pintunya untuk ku hampiri. Gerbong-gerbong kata yang makin jarang kita tukarkan, yang kita berikan senyum dan yang menjadi pengantar mimpi kita saat pintu malam akan kita tutup.

Deretan kata yang terakhir kau bingkiskan ada di minggu yang lalu. Di saat itu kau memintaku untuk menunda pertemuan denganmu. Sambil meminta maaf dan berharap agar aku mengerti kau tunda saat yang ingin ku potret dengan indah. Tapi biarlah, bukankah selalu ada pengertian yang mengikatkan kepercayaan kita. Aku hanya berharap agar penudaan itu bukan berarti kau hanya ingin mencari alasan bahwa apa yang terjadi selama ini adalah kesalahan dan tidak mestinya kita seperti ini. Karenanya aku masih menjaga lilin harapan yang kita nyalakan bersama agar tidak redup terlebih lagi mati demikian cepatnya.

Namun di saat ini aku teramat resah. Aku tahu siapa dirimu tapi kali ini engkau demikian lain. Tak biasanya aku seperti ini. Tidak meninggalkan kata-kata yang berderet. Tidak bisa kuhampiri di pintu malam. Bukan hanya malam ku coba mengetuknya namun pagi, siang dan sore pula tapi aku semakin tidak tahu dimana pintu malammu. Meski aku adalah karang namun aku rapuh jadinya. Karenanya tunjukkan padamu dimana engkau meletakkan pintumu sehingga aku bisa mengetuknya lagi. Tolonglah aku yang makin tidak waras ini.



BDL,26/01/2005
03.00 wib

Menunggumu Lebih Lama Dari Satu jam

Hampir satu jam aku menunggu disini tapi belum juga kau kunjung datang. Entah mengapa aku begitu betah menungguimu padahal aku dikenal sebagai orang yang paling benci menunggu. Aku dilahirkan di dalam keluarga yang sangat disiplin, ibuku adalah anak seorang mantan tentara karena itulah maka watak disiplin seperti tepat waktu, tepat tujuan dan sebagainya itu diturunkan juga kepadaku melalui ajaran-ajarannya hingga aku besar. Akhirnya aku dikenal sebagai orang yang selalu tepat waktu, kalau aku berjanji akan datang jam 8 maka tepat jam delapan itu aku pasti sudah hadir. Kebiasaan-kebiasaan itu yang terkadang membuatku sebal kalau ada orang yang berjanji pada waktu tertentu namun dia terlambat datang.

Biasanya aku memberi waktu tolerir selama 15 menit untuk menunggu orang itu dan kalau waktu itu lewat maka aku akan pergi meninggalkannya apapun resikonya. Karena sikapku itu aku pernah tidak lagi diikutsertakan di dalam proyeknya temanku dengan alasan aku bukan tipe orang yang bisa bersabar. Aku semakin bingung mereka bilang begitu. Suatu kali juga aku pernah bertengkar hebat dengan pacarku yang dahulu sampai kami harus berpisah hanya karena aku diangap orang yang tidak perhatian karena rela meninggalkannya sendiri di tempat yang kami janjikan. Aku juga bingung dengan alasannya itu.

Tapi kali ini entah kenapa aku tidak gelisah karena harus sendiri menunggumu datang. Di tepi jalan ini aku hanya bisa melihat mobil-mobil lalu lalang dihadapan, melihat orang hilir mudik, ada yang sendiri berjalan tergesa-gesa, mungkin ia juga punya janji dengan seseorang yang disayanginya sama seperti aku. Ada juga sepasang pria dan wanita yang kupastikan sebagai kekasih sedang berjalan sambil bercanda, tertawa mesra. Dongkol hati ini melihat mereka itu, aku mulai tak sabar menantikanmu datang.

Pemandangan-pemandangan itu membuatku tersenyum-senyum membayangkanmu yang nanti akan datang tergesa-gesa sambil berkata,

“ Maaf ya sayang, aku harus mandi dan dandan dulu tadi”

Wanita selalu begitu, dandan. Entah kenapa, apa mereka kurang percaya diri dengan rupa mereka sendiri sehingga mereka harus memolesnya supaya dikatakan cantik. Padahal aku tahu bagaimana rupanya kalau sedang tidak memakai dandanannya itu, dia sudah dikarunia raut yang menawan buatku. Setelah itu dia pasti akan berkata lagi,

“ Kamu lama ya menunggunya, maaf ya”

Kata maaf lagi, sepertinya senjata yang paling digjaya dari wanita adalah kata itu, apalagi kalau ditambah dengan kata “sayang” atau paling tidak ada kata “kamu”, kalau sudah begitu mana tega aku kalau tidak tersenyum sambil berkata,

“ Ah nggak kok, aku juga baru datang, belum lima belas menit”

Berbohong lagi aku, lama kelamaan dosaku yang tercipta dari berbohong ini mungkin sudah menjadi bukit. Tapi aku jelas punya alasan untuk itu, dan mungkin semua orang juga rela berdosa-dosa dalam hal ini, aku jadi bingung dibuatnya.

Kata orang wanita itu peka, mereka bisa merasakan emosi yang mungkin muncul dari seseorang hanya dengan melihat matanya. Maka itu temanku berkata agar mereka tidak kecewa kitalah yang harus mengalah. Tapi aku jadi bingung lagi. Apa percintaan itu seperti perang harus ada yang kalah dan menang. Kalau begitu apa yang didapat dari pertempuran yang mungkin melelahkan dan menjatuhkan korban itu. Penguasaan. Aku tidak yakin dengan yang namanya memiliki atau dimiliki itu. Karena ternyata pertempuran belum berakhir ketika kita merasa memiliki, masih ada yang namanya penghianatan. Ah, semakin jauh pikiranku menjelajah sambil menunggumu.

Selama lima menit aku tersenyum-senyum sendiri di tepi jalan ini karena menerka apa yang akan terjadi nanti, sampai aku tak sadar kalau orang-orang memperhatikan. Jadi malu aku, pasti mereka mengira aku orang yang aneh, nggak waras atau gila. Kalau sudah begini mungkin benar kalau cinta itu memang gila.

“ ah, kenapa pula aku jadi sok romantis seperti ini, pengalaman yang dulu hampir menyakitkanku sampai aku enggan bermain-main lagi dengan cinta yang gombal itu. Ah, sudahlah jangan di dramatisir begini”, pikirku dalam lamunanku.

Hei, apa itu. Aku melihat ada kobaran api dan ada sepeda motor dan gerobak bakpao yang jatuh terguling lalu minyak dari gerobak bakpao itu tumpah dan api dari penggorenangannya menyulut api. Sekitar setengah meter api itu membubung, untung saja seseorang menarik sepeda motor itu ke tepi jalan, kalau tidak bisa saja api itu menyambar bensin dari motor itu dan selanjutnya mungkin lebih parah. Aku mendatanginya mereka ternyata sedang bertengkar tentang siapa yang salah, siapa yang keliru waktu berbelok di tikungan, siapa yang tidak menginjak rem waktu hampir bertabrakan dan sebagainyalah. Mereka berdebat kalau mereka sedang tergesa, pedagang bakpao harus mengantar uang sehingga mereka bisa makan besok hari, sementara pengendara motor harus mengantar istrinya ke dokter.

Kalau sudah begitu aku jadi ingat kamu. Entah disisi yang mana kita mungkin akan berdebat tentang rasa sayang kita itu. Kita pernah bertengkar tentang siapa yang salah, siapa yang lebih salah dan siapa yang salah karena menyalahkan tapi kita belum pernah bertengkar tentang untuk apa kita saling bertengkar, mengapa kita tetap bersama meski terkadang bertengkar. Aku tahu kita tak mesti mengatakan jawabnya, ada tangan-tangan halus yang akan secepatnya menepikan sayang kita disaat ada api yang membubung di dalam hati kita.

Aku tersenyum lagi sambil menunggumu. Waktu pun semakin bertambah sekarang sudah satu jam 30 menit. Walaupun sebenarnya aku masih betah menunggumu tapi karena orang-orang semakin keheranan memandangiku sebaiknya aku pindah ke tempat lain untuk menunggu kau datang. Bila Yang Kuasa masih mengijinkan, yakinlah aku akan tetap menunggumu sampai kau datang tergesa-gesa kepadaku. Ah Sophia, ternyata menunggumu lebih lama dari satu jam.


Bandar Lampung, 13062004

RUHKU BISA BERJALAN

Terkadang ruhku bisa berjalan-jalan tanpa memakai sandal dan baju tebal yang sering menemaniku berpergian di malam hari. Saat ini saja ruhku sudah menembus tembok kamar lalu pintu rumah kemudian ia berjalan melewati jalan-jalan protokol, melewati pasar lalu sampai di depan rumah yang mengerikan bagiku.

Rumah itu tersusun dari tiga puluh tiga tumpuk batuan kubus berwarna hitam yang tingginya sekitar tiga belas meter. Rumah itu tidak berpagar, tapi ia dikelilingi oleh pasi-pasir halus yang akan menghisapmu ke dasar perutnya jika kita melangkah di atasnya. Hanya ada jalan setapak untuk melewati pasir itu, begitu kecil untuk melangkah hingga kaki kita harus diangkat perlahan dan kemudian kaki-kaki itu akan berjejer searah ke depan. Aku tidak berani berpikir macam-macam, konsentrasi untuk melihat jalan tipis di malam seperti ini amatlah vital.

Hampir saja aku kehilangan konsentrasi waktu lamat-lamat ada suara lembut yang kukenal dahulu mencoba merayuku kembali, tapi aku berhasil mengusirnya,

“ hus, hus, pergi sana, cari saja makanan di tempat lain” kataku sedikit menghardik.

Memang aku mengenal siapa pemilik suara itu, ia memang bagian dari masa silam yang sempat menempelkan jemarinya dihati ini sebelum ia meremas dan memecahkannya. Untung saja aku masih punya perban dan sedikit obat merah yang memang pedih untuk menyembuhkan luka yang tipis namun dalam ini. Setelah sembuh luka itu baru aku sadar dari hipnotis bahwa ia hanya ingin menggerogoti aku perlahan dari dalam, ya, dari hatiku lalu kemudian ia akan menghisap usus besarku, usus kecilku, lambungku, paru-paru, otakku, baru kemudian ia menikmati tebalnya dagingku dan hanya tulangku yang pasti ia sisakan untuk cacing dan belatung.

Tapi sudahlah, aku harus berkonsentrasi lagi agar aku bisa melewati jalan setapak ini. kulangkahkan lagi kaki kananku ke depan lalu kemudian kaki kiriku, tapi aku merasa kalau aku menginjak sesuatu yang rapuh, “krak” sesuatu yang kuinjak tanpa sengaja itu patah menjadi beberapa bagian. Aku penasaran, benda apa itu yang ada di tengah jalan seperti ini dan di tempat yang mengerikan seperti ini. Aku mencoba memincingkan mataku yang memang sudah minus ini.

Aku tersentak “ tidak mungkin, tidak mungkin ini, aku tidak percaya”.

Jantungku berdegup kencang, nafasku memburu dan mataku melotot sebisanya. Aku masih terdiam memandang sesuatu pada pangkal benda rapuh yang tadi aku injak. Ada wajah di sana, wajah itu sudah berkerut, garis-garis keriput menonjol di sana, tulang-tulang di wajahnya lebih menonjol ketimbang senyum yang coba ia kembangkan menyapaku.

“ apa kabarmu” tanyanya gemetar

aku masih terdiam, jantungku masih berdegup kencang, nafasku masih memburu dan mataku masih melotot sebisanya.

“ kau sudah berubah, banyak hal yang tidak kulihat dari kau yang dulu dan banyak hal yang aku yakin masih kau miliki’ katanya sambil menatap lengan kananku.

Aku mencoba belajar mengeja lagi, membiarkan darah di tubuhku mengalir melewati bilik dan serambi dengan tertib, mengatur nafas supaya bisa antri dengan sabar dan menegur mataku supaya tidak berlebihan dalam bersikap.

“aku baik-baik saja, kau juga begitu banyak berubah” jawabku singkat.

Sungguh bodoh, satu dekade sudah tidak bertemu dan kini yang keluar dari mulutku hanya ucapan seperti itu, padahal satu dekade yang lalu kau begitu ingin memuntahkan bait demi bait hasratmu kepadanya. Aku masih ingat saat itu aku mendadak sakit, padahal aku termasuk anak yang sehat, jarang sakit, kecuali oleh penyakit yang disebabkan oleh angin, seperti masuk angin dan angin duduk.

Saat itu ada angin lain yang menerobos tubuhku dan masuk ke dalam hatiku, aku bingung saat itu sakit macam apa ini, membuat aku limbung, pandanganku menjadi tunggal, sering mengigau dan sering lemas. Tenyata aku tahu kini aku masuk angin saat sedang bertemu dan mencoba bicara berdua dengannya, aku sakit saat angin lembut dari bibirnya menerpa wajahku dan menciptakan rindu di sana.

Kenapa harus kuingat paruh waktu yang itu, aku tak mau penyakit itu kembali lagi menjangkiti ketika ia sudah hampir musnah dari dataran inginku, ketika namanya hampir luluh terbawa riak yang melewati kerikil dan kuarsa disepanjang aliran hidupku. Aku harus yakin ini hanya godaan sama seperti ketika iblis menggoda Hawa dan Adam untuk mengenal dusta dan dosa. Tapi sungguh aku tak jua kuasa untuk meraih sedikit ingin tahuku tentang itu, aku ingin meraih buah yang belum sempat aku lihat sebelumnya dari dia, aku hanya ingin melihat adakah gores namaku di kulit cintanya, hanya itu. Lalu dengan gentar aku memohon agar ia memperlihatkannya kepadaku.

Tapi ia bisu dan matanya pun tak berkata, hanya ada dingin yang mengurung tubuhnya. Kutawarkan ia selimut yang dahulu kusimpan dari balik kenanganku, masih saja terajut dengan rapi dan masih ada inisial namamu di bagian pinggirnya. Nama itu tidak pernah tersentuh oleh yang lain meskipun aku pernah meminjamkannya kepada mereka yang melintas dihadapan, tapi selalu aku ragu karena melihat namamu ketika mereka memakai selimut itu. Karena itu kemudian harapku menunggu agar selimut ini melekat kepada pemilik nama ini.

Kau semakin membeku, wajahmu membiru, bunga es mulai menutup tubuhmu dan kaku mulai menjadikanmu tak sanggup untuk kupeluk. Bukan karena aku tak peduli, tapi karena kau juga menciptakan badai dari dinginnya hatimu dan badai itu menyerangku, menghempaskan tubuhku saat hendak melangkah padamu. Aku tak pernah menduga itu sebelumnya. Maka, gemeretak gigi menahan dingin bercampur dengan panas luka hati aku meninggalkanmu tanpa harus menoleh kepada batu yang kau pahat dengan angkuhmu.

Tak seharusnya kau meminta masa yang datang sebagai hadiah yang harus kuberikan di hari itu. Aku belum punya lembaran dan kepingan untuk memberikan kau masa datang yang harus kubungkuskan di dalam parsel dan disertai dengan sepuluh atau dua puluh bingkisan lain yang katanya merupakan bukti inginku padamu. Kau tetap keras memintanya padaku. Baiklah, akan kuberikan kau candi di atas remuknya permukaan sayangku yang tak pernah sempurna hingga ayam jantan membangunkan dari lelap dan yang tersisa dari harapku hanyalah menjadikanmu sebagai arca dari candi yang akan kubiarkan terkubur dalam-dalam.

Ku dapatkan kesadaran setelah beberapa kali aku mencoba menggapainya. Kesadaran yang datang bersama dengan pijar cahaya yang samar kulihat di ujung setapak yang masih kulalui ini. Pijar itu sedikit demi sedikit berkelap kelip seperti saat kulihat beberapa bintang yang masih mencoba memberikan arti kepada sesamaku tentang berbagai arti. Semakin dekat ia berpendar-pendar seperti cahaya suar yang sendiri dan dengan sederhananya memberi inspirasi kepada sebuah awal dan akhir yang kembali bertemu dan menjalin waktu.

Aku hampir lelah, ternyata setapak ini masih panjang dan aku masih mengejar cahaya yang ada didepan. Ku tak kuasa menerka berapa lama lagi mencapai ujung dan merasakan lagi hangat atau panasnya terik mentari sehabis fajar. Saat ini ruhku masih saja berjalan melewati rumah demi rumah yang menyeramkan bagiku, rumah yang semakin jauh meninggalkan ragaku yang masih telanjang itu.


BDL, Januari-Juni 2004

Sunday, April 8, 2007

tragedi, mungkinkah?

tragedi dalam hidupku adalah hari ini
ketika aku tak menemukanmu di antara jerami-jerami kota
ketika aku larut dalam senyawa yang semakin pekat menjerat

aku sealu merasa bahwa matahri tidak akan pernah menghanguskanku
tapi aku salah
matahari bahkan telah melebur diriku hingga menjadi buih
mengalir ke selokan hingga ke tepi sungai
bebaur bersama sampah dan bangkai


14 May 2006

Friday, April 6, 2007

Menggugat Masa Depan

Masa depan telah memperkosaku, tapi entah kenapa pada beberapa saat terakhir aku sangat menikmati diperkosa olehnya. Beramai-ramai waktu menghujaniku dengan air mata dan darah yang mengalir dari keperawanku tentang dunia. Waktulah yang membuatku tidak lagi perawan, tidak lagi lugu seperti saat mengenal semilir angin yang menyibakkan keinginan untuk mengungkap dunia. Masih kuingat ketika aku berkenalan dengan iblis yang berbaju merah, dia mengajakku untuk menikmati jatuhnya perasaan dalam neraka berbuih. Tubuh yang merasa hangat semakin lama melepuh merah terbakar. Sementara iblis itu tanpa menoleh pergi meninggalkan patahnya rindu yang semakin rapuh.

Masa depan telah menipuku dengan menjanjikan Cantik yang akan menemani masa yang sisa. Cantik ternyata melukai dengan sapu tangannya, dia menyerap darah yang masih merah dan menggantikannya dengan hitam jelaga yang menimbulkan gores-gores di rupaku. Ia bukannya tidak kusukai namun aku saja yang makin membencinya karena ia terlalu cantik.

Masa depan telah menganiayaku dengan membiarkanku melupakan enam tahun yang pernah menghujani dengan ribuan pukulan di seluruh tubuh. Lebam dan memar pernah menjadi lukisan tubuh yang membanggakan meskipun aku terlalu bahagia untuk menerimannya. Saat itu tulang rusukku yang pernah patah kujadikan hiasan ditempel di dinding kamar supaya aku mengingat sang ketika. Tapi sungguh aku telah dianiaya oleh beribu lengan yang menghujam dari seratus arah, merubuhkanku hingga seseorang meneriakkan BAKAR, maka disiramkannya api ketubuhku dan aku lupa teraniaya.

Apa yang bisa kulakukan dengan kejadian itu?. Puluhan komentar kutangkap satu makna GUGAT. Tapi menggugat masa depan bagaimana caranya, kepada polisi yang mana aku harus mengadukannya, siapa yang akan menjadi jaksa penuntut umum kasusku ini, siapa pengacara yang siap mendampingiku dan pasal berapa dari beribu undang-undang kita yang tidak pernah lurus itu untuk mendakwa kasus ini.

Karena itu biarlah aku yang menjadi polisi, menjadi jaksa penuntut umum, menjadi hakim, menjadi pengacara, menjadi saksi dan menjadi korban. Lalu akan kubuat sebuah Kitab Undang-undang yang akan mengundang sejuta umat untuk membelaku dan membantuku memenjarakan masa depan. Tapi masalahnya ternyata diriku tidak kooperatif dengan diriku sendiri, polisi bertengkar dengan pengacara, jaksa bersitegang dengan hakim dan terdakwa mengancam saksi dan korban. Saat itu aku semakin luka oleh masa depan yang melukai lalu…


Bandar Lampung, 28 Mei 2004

Camar dan Chairil

Bila saja ada pelabuhan kecil seperti yang dibicarakan oleh Chairil mungkin aku juga akan menunggunya di sana. Menatap matahari yang terbenam sembari diiringi pekik camar dan gemuruh yang pelan-pelan mengalir dari nafasku. Sambil menghisap angin pantai ke metabolisme rasaku yang gemuruh akan kucandai camar-camar itu. Aku akan ikut memekik dan berkejaran dengan ombak yang sesekali menghempas. Akan akan menari di garis pantai hingga senja menjadi buta. Tapi aku sendiri. Aku berkelana dalam benakku. Bila ada senja yang ingin kubagi bersama Seno maka ingin kuminta bagian yang paling besar agar waktu jadi lama untuk kutapaki.

Bersama Charil mungkin aku akan duduk berdua di dermaga kecil itu, kita akan berdiskusi tentang sastra, tentang pergerakan dan tentang seseorang yang sama-sama kita tunggu. Chairil mungkin akan berbicara tentang Sri Haryati yang dia puja, melihat dia bercerita tentang pertemuan pertamanya, kesan kepadanya membuat kami tertawa-tawa kecil sambil diselingi desahan nafas yang aku tahu bila cinta itu masih terpendam. Chairil tenyata sosok yang rapuh dengan cinta padahal entah berapa puisinya yang aku yakin digilai oleh wanita pemujanya.

Dari raut wajah Chairil aku tahu kalau dia begitu mencintai Sri, aku juga tak mengerti kenapa Sri begitu berbeda dengan wanita yang lain di matanya. Kenapa Sri begitu dingin kepada Chairil, setidaknya dari cerita Chairil aku tahu bila pertemuan-pertemuan mereka begitu singkat bahkan terkadang hanya sapa. Meski Chairil sadar bila pertemuan yang singkat belum cukup memberi kesimpulan bagi Sri kepada dirinya namun ia tak lagi sanggup berkata. Sri adalah pisau yang selalu ingin ditancapkan Chairil di dadanya.

Selama waktu itu puisinya hanya puisi pengharapan dan puisi ketakutan akan patah hati. Charil masih menanti. Entah apa yang dinanti. Kulihat wajahnya beku matanya menatap camar yang terbang semakin tinggi lalu terbang ke pulau yang lain karena senja mulai menghitam. Mengganti jingga lembayung dengan taburan titik-titik dan koma di ujung senja. Ombak pun semakin tenang dan pasang akan segera datang. Burung-burung laut pulang ke peraduan malam.

Andai saja Charil tidak mati muda mungkin aku akan bercerita kepadanya bahwa aku melihat camar yang sama seperti yang dia lihat di dermaganya dahulu. Dan saat ini pun aku sedang berdiri menatapnya di kala senja menjelang hitam.



BDl, 5 Des 2004

JUNI

Masih saja aku merindu ramai, kehadiran Juni yang kembali dari lorong-lorong yang menelannya dahulu. Saat lolong lolong panjang membolongi rasaku dengan ketiadaan yang tiba-tiba, aku tak pernah menyangka. Yang Maha, aku tahu kau menginginkan sesuatu dariku, kau melihat sesuatu padaku maka Kau berikan ini di saat ku ingin mendekati. Aku tahu rasa perih dan juga rasa manis tapi tak kupahami keduanya tercampur aduk, terlarut dalam rasa yang baru.

Yang Maha, Juni ternyata masih menantiku. Aku melihat dia melambaikan tangannya kepadaku dari puncak bukit di sana, kulihat juga ia bertepuk-tepuk mencoba meyakinkanku bahwa ia yang memanggilku. Apa yang harus kulakukan, aku yang harus berlari mengejarnya ke atas bukit itu meski berkeringat dan kehabisan energi, aku punya harapan dia akan menungguku dan memberiku rasa untuk melarutkan rindu yang membeku. Tapi apakah dia akan begitu, menungguku?. Ataukah dia akan pergi saat aku belum lagi sampai mendaki tebing demi tebing yang menjadi tembok di antara harap dan nyata kita.

Ataukah aku yang memintanya untuk turun menghampiriku dengan wajah rindu yang seolah-olah. Yang pasti aku yakin itu perlu kerja yang keras, mungkinkah rindunya lebih beku dari rindu yang kumiliki sehingga dengan keadaan apapun dia akan tetap berusaha menghampiriku meski aku tak ingin menghampirinya. Dan akan kulihat dia yang berlari turun dengan tergesa-gesa dengan wajahku yang lekat di matanya hingga ia menghampiriku sebelum angin menerbangkannya dari hadapan yang gigil ini.

Bimbang ternyata bisa hidup berabad-abad, dia tidak juga bisa hilang, bahkan dia semakin lama semakin meradang dan menggerogoti yakinku yang memang sedikit. Tapi kenapa selalu saja muncul rasa di saat ku tak jua mengerti yang mana bimbang dan yang bukan bimbang, atau yang mana rasa dan yang bukan rasa, serta yang mana aku dan yang mana yang bukan aku.

Yang Maha, masihkah Juni memberikan janjinya yang tersimpan dengan rapat dalam bingkisan MU ?


BDL, 270604: 23,22 WIB
Beberapa jam sebelum ujian skripsi
Menjelang 23 umurku

Sunday, April 1, 2007

Malam Semakin Larut

malam smakin larut,
getir bercampur bersama ingin,
hadir dr penyebrangan terakhir,
tak kuasa rapatkan dermaga,
hanya bisa terbakar oleh fana & duka,
kini jelaga milikku.

kefanaan terkdang kita pelihara dalam tertahannya air mata, hampa mata merangkum isyarat yg belum jua tertulis, hanya hujan turun mngganti air mata menitik bumi. Innalillahi.

25/11/06

Hari belumlah lagi malam

Hari belumlah lagi malam, masih ada petang yang tenang dan sejuk. Masih ada burung-burung senja yang berkicau dan terbang di atas rumah dan halaman. Aku masih sedikit lelah setelah mengikuti sang kala yang sulit untuk kutaklukkan sampai aku sadar bahwa ternyata senja itu adalah wajah manis dari sang kala. Kalau pagi adalah wajah lugu dari sang waktu karena kita masih belum tahu apa yang dilalui dan terlalui nantinya dan kalau siang adalah wajah serius dari sang kala dimana kita sedang berdebat, bercanda bahkan bertengkar dengan detik yang lalui maka senja adalah wajah manis dari waktu dimana ingatan sehari itu menjadi bingkisan benak yang bisa melarutkan emosi.

Di senja ini sambil kuteguk secangkir teh hangat, kubuka bingkisan itu. Bingkisan yang sederhana untuk kubuka pada senja disaat ku sendiri. Ada berbagai sapa, senyum dan perbincangan. Ada bosku yang menegurku keras karena aku belum juga selesai mengerjakan tugasku, ada temanku yang menegurku dan meminjam uang kepadaku, ada juga sahabatku yang terbahak-bahak saat kita bercanda dan ada juga dia yang memberikan senyumnya padaku.

Aku baru sadar kalau dia tersenyum padaku tadi. Padahal selama ini dia sering hilir mudik di hadapanku, dia sering menyapa teman-temanku. Tapi kalau padaku, baru tadi kuperhatikan dia. Ternyata aku salah kalau mengira dia biasa saja hanya karena dia mirip dengan bunga yang lain yang sama-sama berwarna dan mempunyai wangi. Bahkan kurasa dia bukan bunga, dia hanya kelopak tunas daun yang lugu dan menyimpan rahasia tentang kapan dia berbunga dan berbuah. Dengan menjadi tunas daun dia lebih berharga. Ya, aku salah selama ini. Semestinya sudah ada sadar saat pertemuan pertama dahulu agar aku bisa mencermati tunas itu perlahan-lahan berkembang, agar aku menjadi orang pertama yang menjaganya.

Di senja ini aku masih merenung, menerka wajah-wajah yang lain dari sang kala. Menerka seperti apa wajah dari malam. Apakah akan ada yang mengetuk pintuku malam ini? apakah ada wangi yang menyapaku lembut?, kalau pertanyaan itu sering hadir dahulu menegurku dengan ringan atau keras maka malam nanti aku merasa sudah ada sosok yang akan mengetuk pintu dan memberi wanginya kepadaku. Tapi yang masih tak kumengerti adalah kenapa hanya Sophia yang menghampiri pintuku dan mengetuknya saat hari belumlah lagi malam.

Bandar Lampung, 200604

Saturday, March 31, 2007

Rintik Gerimis

sekedar oleh-oleh perjalanan....

Empat bulan lalu masih teringat ketika aku menabur serpihan sajak cinta di tengah danau. Serpihan-serpihan itu ada yang jatuh ke kakiku, ada yang jatuh ke muka air danau lalu ikan-ikan menyambarnya dengan tergesa dan ada juga yang diterbangkan hembus angin meliuk menuju angkasa bersatu dengan gumpal awan untuk kemudian menjadi hujan.

Kemudian engkau datang dan berlari-lari kecil menembus gerimis yang turun menjelang senja sambil menampung kata-kata yang tersisa dengan kedua tanganmu yang lentik. Kuhampiri dan kuberi tanganku sebagai wadah agar kau terus dapat menampung rintik kata-kata yang hanya sebentar saja. Setelah gerimis itu usai, tak ada cerita yang mengalir dari kedua bibir kita. Kecuali hanya kebisuan yang menambah suasana semakin kelam. “Mana puisi cinta itu?!,” katamu sambil memukul-mukul ruang imajinasiku saat senja makin jelaga dan kita menepi dari danau ini.

Aku tahu, engkau menginginkan puisi cinta lengkap dengan kerinduan dan bisikan mesra yang turun dari gagasku. Bukan sebuah cincin yang sengaja kubuat dari rajutan huruf-huruf dan tanda baca dengan warna-warna yang tak pernah sama. Bukan juga kata-kata di dalam telepon selular yang tak pernah berdering seperti orang membaca puisi dengan suara nyaring. Ini penting untuk kuceritakan.

Kata-kataku telah lahir prematur tanpa ibu, ia meraung-raung bertanya tentang engkau dihari lahirnya dan waktu tumbuh ia menggambar wajah ibu di atas danau sampai kemudian ia mengembara seperti gelandangan yang terbuang. “Maukah engkau menjadi ibu dari kata-kataku?” tanyaku suatu ketika di dalam mimpi suatu pagi. Kemudian engkau terdiam dan melempariku dengan titik dua koma dan tanda tanya dan kau berhenti menangkup kata-kata yang turun bersama gerimis yang semakin sering datang, kau masih diam.

Kue donat dan sandal jepit menemaniku melewati gugusan waktu dalam bentangan cakrawala sambil menunggu kabar berita. Sungguh, ini cerita yang tak menuntut apa-apa, ia genangan sehabis hujan yang membekukan tanganku sehingga tak lagi bisa menabur sajak cinta agar kau kembali. Kata-kata yang turun bersama gerimis itu kini mengalir begitu saja, tak lagi ada yang menampung dengan tangannya yang lentik. Sementara aku memilih menjadi angin yang berhembus membawa rintik gerimis bersama puisi cinta dari kota ke kota.

KUPU-KUPU MATAHARI

Tulisan ini sepertinya tersinspirasi oleh perjalanan virtualku antara “lampung-bandung” yang menggugah rasa, ya inspirasi tak bisa di duga toh.....

Pagi ini aku tak lagi melihat kupu-kupu yang biasanya berkejaran di antara kelopak dan tunas muda daun yang dibasuh oleh embun sisa semalam. Kadang-kadang aku merasa kalau kupu-kupu itu diciptakan bersama dengan matahari. Matahari dan kupu-kupu diciptakan sebagai bentuk senyum Yang kuasa kepada bumi, begitu indah mengwali hari bersama mereka. Aku merasa kalau terbitnya matahari adalah lahirnya generasi baru kupu-kupu yang akan mengisi taman kecilku. Kupu-kupu itu akan mengisi ruang di antara bunga-bunga kecil dan ranting pohon cemara udang yang meneduhkan seringai pagi hingga melewati helai-helai dedaunan dan kuncup bunga sepatu yang pernah kutanam.

Setiap pagi aku melihat kupu-kupu yang sama, berwarna cerah dengan bintik-bintik hitam di kedua sayap rapuhnya. Terkadang aku bisa merasakan hembusan angin yang mereka ciptakan dari kelepak sayapnya. Angin yang sangat lembut. Terkadang jua aku merasa bisa menatap mata mereka yang melihat diriku dalam seratus bayangan. Aku beri senyum setiap mereka menatapku sebentar, lalu kuucapkan selamat pagi, selamat mengawali hari dan sampai ketemu nanti sore. Begitu seterusnya selalu ada kupu-kupu yang datang bersama dengan matahari pagi sampai satu tahun yang lalu.

Pagi itu aku tidak berjumpa dengan seekor kupu-kupu yang datang bersama dengan matahari. Aku penasaran. Ku tunggu hingga beberapa menit. Dugaanku kalau kupu-kupu terlambat bangun pagi di hari itu, mungkin karena sehabis bekerja hingga larut malam sama sepertiku atau juga mungkin karena air mandi yang habis sehingga dia harus tergesa-gesa menimba sumur. Ah, sudah tiga puluh menit. Matahari pun sudah mulai bersemangat jalani hari. Selalu ada kemungkinan yang baik dalam pikirku untuk kupu-kupu itu.

Esok harinya aku tak jua berjumpa dengan kupu-kupu yang datang bersama dengan matahari pagi. Aku heran. Jangan-jangan kupu-kupu itu sedang sakit atau dia sudah bosan dengan tempat ini dan pergi bermigrasi layaknya burung-burung bangau di musim dingin. Aku masih berpikir positif untuknya. Aku berharap esok hari kupu-kupu itu akan datang bersama matahari pagi lagi. Tapi aku salah. Di pagi yang selanjutnya aku tak jua temukan kupu-kupu itu. Aku mulai merasa kehilangan. Kehilangan sapuan angin lembut di antara kedua sayapnya, tatapan mata yang melihat diriku dalam seratus bayangan atau bintik-bintik hitam diantara sayapnya. Aku rindu. Hari demi hari menjadi bulan, bulan demi bulan menjadi tahun dan aku kesepian. Kehilangan kupu-kupu yang datang bersama matahari pagi.

Pernah aku berpikir tentang kemungkinan bahwa kau ditelan oleh matahari yang kau percaya. Atau mungkin kau dihujani oleh embun yang hempaskan tubuhmu di antara remah-remah hutan. Diantara hari dan bulan itu selalu ingin kucari jawaban atas heranku kenapa kau hilang. Aku mulai merasa salah karena tak mampu membebaskanmu dari penjara pertanyaan ini. Mungkin akulah yang sudah membunuhmu sebelum matahari menjemputmu dipagi buta. Sebelum embun berkumpul meniupkan dingin di ujung malam. Sebelum aku sadar bahwa sebenarnya kupu-kupu itu tak seharusnya berada di sini.

Bdl/ 1 Jan 2007 08.13 wib