sekedar oleh-oleh perjalanan....
Empat bulan lalu masih teringat ketika aku menabur serpihan sajak cinta di tengah danau. Serpihan-serpihan itu ada yang jatuh ke kakiku, ada yang jatuh ke muka air danau lalu ikan-ikan menyambarnya dengan tergesa dan ada juga yang diterbangkan hembus angin meliuk menuju angkasa bersatu dengan gumpal awan untuk kemudian menjadi hujan.
Kemudian engkau datang dan berlari-lari kecil menembus gerimis yang turun menjelang senja sambil menampung kata-kata yang tersisa dengan kedua tanganmu yang lentik. Kuhampiri dan kuberi tanganku sebagai wadah agar kau terus dapat menampung rintik kata-kata yang hanya sebentar saja. Setelah gerimis itu usai, tak ada cerita yang mengalir dari kedua bibir kita. Kecuali hanya kebisuan yang menambah suasana semakin kelam. “Mana puisi cinta itu?!,” katamu sambil memukul-mukul ruang imajinasiku saat senja makin jelaga dan kita menepi dari danau ini.
Aku tahu, engkau menginginkan puisi cinta lengkap dengan kerinduan dan bisikan mesra yang turun dari gagasku. Bukan sebuah cincin yang sengaja kubuat dari rajutan huruf-huruf dan tanda baca dengan warna-warna yang tak pernah sama. Bukan juga kata-kata di dalam telepon selular yang tak pernah berdering seperti orang membaca puisi dengan suara nyaring. Ini penting untuk kuceritakan.
Kata-kataku telah lahir prematur tanpa ibu, ia meraung-raung bertanya tentang engkau dihari lahirnya dan waktu tumbuh ia menggambar wajah ibu di atas danau sampai kemudian ia mengembara seperti gelandangan yang terbuang. “Maukah engkau menjadi ibu dari kata-kataku?” tanyaku suatu ketika di dalam mimpi suatu pagi. Kemudian engkau terdiam dan melempariku dengan titik dua koma dan tanda tanya dan kau berhenti menangkup kata-kata yang turun bersama gerimis yang semakin sering datang, kau masih diam.
Kue donat dan sandal jepit menemaniku melewati gugusan waktu dalam bentangan cakrawala sambil menunggu kabar berita. Sungguh, ini cerita yang tak menuntut apa-apa, ia genangan sehabis hujan yang membekukan tanganku sehingga tak lagi bisa menabur sajak cinta agar kau kembali. Kata-kata yang turun bersama gerimis itu kini mengalir begitu saja, tak lagi ada yang menampung dengan tangannya yang lentik. Sementara aku memilih menjadi angin yang berhembus membawa rintik gerimis bersama puisi cinta dari kota ke kota.
Saturday, March 31, 2007
Rintik Gerimis
Posted by soemandjaja at 11:56 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment