Friday, April 6, 2007

Menggugat Masa Depan

Masa depan telah memperkosaku, tapi entah kenapa pada beberapa saat terakhir aku sangat menikmati diperkosa olehnya. Beramai-ramai waktu menghujaniku dengan air mata dan darah yang mengalir dari keperawanku tentang dunia. Waktulah yang membuatku tidak lagi perawan, tidak lagi lugu seperti saat mengenal semilir angin yang menyibakkan keinginan untuk mengungkap dunia. Masih kuingat ketika aku berkenalan dengan iblis yang berbaju merah, dia mengajakku untuk menikmati jatuhnya perasaan dalam neraka berbuih. Tubuh yang merasa hangat semakin lama melepuh merah terbakar. Sementara iblis itu tanpa menoleh pergi meninggalkan patahnya rindu yang semakin rapuh.

Masa depan telah menipuku dengan menjanjikan Cantik yang akan menemani masa yang sisa. Cantik ternyata melukai dengan sapu tangannya, dia menyerap darah yang masih merah dan menggantikannya dengan hitam jelaga yang menimbulkan gores-gores di rupaku. Ia bukannya tidak kusukai namun aku saja yang makin membencinya karena ia terlalu cantik.

Masa depan telah menganiayaku dengan membiarkanku melupakan enam tahun yang pernah menghujani dengan ribuan pukulan di seluruh tubuh. Lebam dan memar pernah menjadi lukisan tubuh yang membanggakan meskipun aku terlalu bahagia untuk menerimannya. Saat itu tulang rusukku yang pernah patah kujadikan hiasan ditempel di dinding kamar supaya aku mengingat sang ketika. Tapi sungguh aku telah dianiaya oleh beribu lengan yang menghujam dari seratus arah, merubuhkanku hingga seseorang meneriakkan BAKAR, maka disiramkannya api ketubuhku dan aku lupa teraniaya.

Apa yang bisa kulakukan dengan kejadian itu?. Puluhan komentar kutangkap satu makna GUGAT. Tapi menggugat masa depan bagaimana caranya, kepada polisi yang mana aku harus mengadukannya, siapa yang akan menjadi jaksa penuntut umum kasusku ini, siapa pengacara yang siap mendampingiku dan pasal berapa dari beribu undang-undang kita yang tidak pernah lurus itu untuk mendakwa kasus ini.

Karena itu biarlah aku yang menjadi polisi, menjadi jaksa penuntut umum, menjadi hakim, menjadi pengacara, menjadi saksi dan menjadi korban. Lalu akan kubuat sebuah Kitab Undang-undang yang akan mengundang sejuta umat untuk membelaku dan membantuku memenjarakan masa depan. Tapi masalahnya ternyata diriku tidak kooperatif dengan diriku sendiri, polisi bertengkar dengan pengacara, jaksa bersitegang dengan hakim dan terdakwa mengancam saksi dan korban. Saat itu aku semakin luka oleh masa depan yang melukai lalu…


Bandar Lampung, 28 Mei 2004

No comments: