Saturday, January 12, 2008

Langit Malam Tahun Baru (sebuah cerpen)

31 Desember 2007, jam 16: 35 WIB aku tiba di rumah setelah menjalani hari dengan rutinitas kerja yang dilalui seperti hari sebelumnya. Memang tidak ada jadwal yang penting hari ini, hanya meladeni beberapa mahasiswa yang sedang menjalani pembimbingan skripsi. Ada yang berbeda antara mahasiswa dahulu dengan mahasiswa sekarang, kalau mahasiswa dulu begitu sakral melihat skripsi, melihatnya seperti seorang prajurit terhadap medan perang yang harus siap dengan semua kemungkinan atau melihatnya seperti seorang petualang yang menemukan peta harta karun sehingga semua energi tercurah di sana. Tidak heran jika kami dahulu rela berjalan-jalan ke kota seberang untuk mencari inspirasi yang baik, membeli buku langka yang bisa menambah wawasan atau berkutat di perpustakaan universitas lain yang lebih lengkap. Mahasiswa terdahulu melihat skripsi sebagai monument intelektual yang harus dibuat seindah dan sesempurna mungkin. Kini aku sedang berhadapan dengan mahasiswa yang merengek-rengek supaya bisa seminar sebelum bulan maret. Ada juga yang merengek-rengek karena buku yang aku minta untuk dibaca tidak ditemukan di perpustakaan fakultas dan universitas. Huh, apa pula yang ada di pikiran anak manusia cerdas itu. Mereka anggap apa skripsi ini. Apakah sekedar kumpulan kertas sampah?, sampah yang berasal dari pikirannya sendiri. Jangan-jangan mereka juga menganggap kampus ini kubangan sampah dan aku juga dianggap sampah. Ah, sudahlah. Anak manusia seperti ini yang memang harus diajarkan tentang penghargaan, kerja keras dan tanggung jawab di dunia. Aku tak sanggup membayangkan kalau setelah lulus nanti mereka hanya menjadi sarjana-sarjana sampah. Sudah terlalu banyak sampah di bumi ini.

Kalau sudah dirumah aku lepaskan semua cerita-cerita unik yang sudah biasa itu, biarkan saja menjadi salah satu bagian perjalanan hidup. Menjadi salah satu bagian di dalam buku tahun yang segera berganti ini. Aku tidak punya rencana apapun di malam tahun baru ini. Hanya ritual kecil yang dijalankan oleh keluarga. Berdoa bersama di detik-detik awal tahun yang baru, sambil menanam harapan yang lebih baik di esok hari. Setelah itu aku akan tidur karena ada rencana besar yang mau aku datangi, aku akan keluar kota mengunjungi cahaya yang muncul di ujung tahun kemarin. Cahaya yang kembali menghangatkan jiwaku yang selama ini dingin. Nur, tunggulah aku esok hari.

Malam sudah seperempat, masih bercengkerama bercerita bersama keluarga. Di temani acara televisi yang diantaranya menayangkan sajian live perayaan tahun baru. Ah, semua acara sudah tampak sama di mataku. Tiba-tiba pintuku diketuk. Pintu pun kubuka.

“ pak, ada warga yang meninggal”, pak mardi tetanggaku berkata dengan tenang.

“ siapa?” tanyaku menggali informasi.

“ si wawan, anak yang beda itu”, pak hasan menjawab dengan tegas.

Segera setelah berpamitan sebentar dengan keluarga di rumah, aku segera berjalan bertiga menuju rumah duka. Aku sudah tahu kondisi keluarga si wawan yang rumahnya tepat di belakang rumahku. Tipikal rumah yang sering muncul di acara televisi, rumah yang mengundang air mata, mengundang simpati dan perlu mendapat uluran tangan dari manusia yang lebih beruntung seperti kita. Wawan adalah seorang anak yang berbeda. Aku masih ingat seorang psikolog di televisi pernah mengatakan bahwa anak seperti ia adalah anak yang asyik dengan dunianya sendiri. Entah seperti apa dunia yang ia buat sendiri itu. Apakah lebih berwarna dari dunia kita atau hanya dunia hitam putih?. Entahlah. Aku juga masih ingat penjelasan psikolog itu yang berujar kalau anak dengan kondisi seperti itu perlu mendapatkan perhatian yang khusus dan ditanggapi dengan sabar. Cara-caranya dilakukan melalui beberapa jenis terapi yang merangsang kemampuan si anak untuk lebih terarah dalam berinteraksi dengan orang lain. Tapi aku tidak berani membayangkan itu dilakukan oleh keluarga si wawan. Aku takut menjadi manusia yang tenggelam hanya bisa berwacana tapi tidak memberikan solusi yang bisa dilakukan oleh keluarga ini kepada anaknya itu. Aku tak tahu apakah askeskin bisa dipakai untuk masalah seperti ini. Aku takut kalau usul-usulku justru akan menyesatkan mereka.

Aku memang tidak banyak mengenal sang almarhum. Aku hanya tahu kalau di belakang rumahku itu ada sebuah keluarga yang memiliki seorang anak yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Ya, wawan tadi itu. Hanya itu yang kutahu.

Menjelang tengah malam tiba-tiba pikiranku berkelabat-kelebat bersamaan dengan kembang api yang mulai meluncur setinggi mungkin ke angkasa lalu meledak dengan bunga api yang bertebaran sesaat dengan warna yang beragam, sebelum kemudian menghilang tanpa jejak. Hidup manusia itu memang seperti kembang api. Yang bisa kita lakukan hanya mencoba setinggi mungkin meraih titik-titik pencapaian hidup, memberi bunyi dan warna yang beragam sebelum kemudian meledak dan menghilang di telan kefanaan.

Aku tengadahkan kepala kelangit, mengagumi kembang api. Tapi ternyata tidak hanya itu, di langit malam tahun baru ini aku melihat wawan berlarian di antara bunga-bunga api yang bertebaran, dia tertawa-tawa ketika ada kembang api yang meletup lalu hilang dan disusul oleh letupan kembang api yang lain, begitu terus bergantian selama beberapa menit. Bocah itu sedang melihat dunianya sendiri, bermain dalam pandangannya sendiri. Dia sepertinya ingin memegang erat setiap bunga yang muncul dari letupan kembang api itu. Mungkin hendak dia kumpulkan menjadi sebuah rangkaian bunga bercahaya. Namun setiap ia hendak memegang erat bunga yang bercahaya itu, tiba-tiba setiap bunga itu hilang. Aku melihat raut wajahnya yang mulai lelah berlarian mengejar setiap bunga yang akhirnya tidak bisa ia genggam. Perlahan kulihat matanya mulai basah. Setelah beberapa menit semua bunga itu tidak lagi muncul di langit malam tahun baru ini. Semuanya kembali hitam. Wawan yang kelelahan duduk dengan wajah yang kecewa, matanya menatap seolah berbicara. Tapi aku tidak bisa mendengarnya.

Rumah ini sudah mulai ramai dikunjungi oleh para tetangga. Ternyata masih ada yang memilih ke rumah duka ketimbang di jalanan atau alun-alun kota menikmati pergantian tahun ini dengan tawa dan keramaian. Memang kebanyakan dari mereka yang datang ke rumah ini adalah bapak-bapak yang sudah berumur dan menganggap lebih nyaman berada di rumah saja meski banyak orang bersuka cita. Toh, hari-hari selalu berganti dengan cara yang tidak berbeda, sesudah 24 jam maka hari yang baru pun mulai, begitu seterusnya. Beberapa diantara pengunjung itu memilih berada di dalam rumah, sisanya berada di luar rumah, terdengar ayat-ayat suci berasal dari dalam rumah. Aku memilih di luar rumah, selain karena ruang di dalam itu sudah cukup padat, aku juga ingin menikmati melihat langit malam tahun baru ini. Aku masih menunggu apa yang dilakukan oleh wawan yang masih terduduk di sana. Seolah menunggu. Menunggu kembang apikah?. Aku jadi ingin bertanya kepadanya.

“ apa yang kamu tunggu wan?,” aku bertanya lembut kepadanya.

Wawan tidak menjawab. Aku tahu kalau anak seperti dia bisa saja merespon pertanyaanku dengan cara yang berbeda. Aku menunggu reaksinya. Beberapa lama ia tetap terduduk, wajahnya tertunduk dan tidak melakukan apapun. Aku bertanya kembali.

“wawan, apa yang kamu tunggu?,” tanyaku dengan nada suara yang tetap lembut.

Kali ini wawan menoleh, ia tersenyum, lalu ia menunduk kembali. Namun kali ini tangannya meraih sebuah batang kayu dan perlahan ia mulai menggores-gores langit malam dengan ranting kayu itu. Ia menggambar sesuatu. Aku sering mendengar kalau anak itu biasanya senang berdialog dengan gambar yang mereka buat sendiri. Dia terkadang menggambar emosi yang dialaminya setelah dicurangi bermain oleh teman sebayanya, menggambar ibunya sebagi peri yang cantik setelah diberikan kue yang lezat kiriman tetangga atau menggambar apa saja yang menarik dalam sudut pandangnya. Aku berpikir, mungkin wawan ingin menjawab pertanyaanku melalui gambar. Aku menunggu ia menyelesaikan goresan-goresannya di langit malam itu.

Malampun semakin merayap. Aku berdiri sebentar dari posisi duduk menatap langit ini. Sekedar melemaskan otot leher yang mulai tidak nyaman karena menengadah sedari tadi. Aku melihat ayahnya wawan yang beberapa menit lalu keluar dari dalam rumahnya dan bergabung bersama kami di luar sini. Ia mengucapkan terima kasih sudah datang di malam ini, lalu ia membuka cerita tentang wawan.

“wawan itu anak yang penyendiri,” ujarnya.

Sebuah pernyataan yang nampaknya sudah diketahui oleh semua tetangganya.

“kalau bermain dengan temannya ia sering di curangi dan di hina, makanya ia lebih senang berada di rumahnya, biasanya ia menggambar, banyak sekali gambar-gambar dengan pensil atau crayon yang dibuatnya,” ujarnya terkenang.

Seperti yang sudah aku duga tadi. Wawan memang memilih menuangkan perasaan dan pikirannya melalui gambar. Ia tidak ingin perasaan dan pikirannya hanya jadi sampah.

“ gambar apa saja pak yang biasanya dibuat wawan,” tanyaku yang menyeruak di antara suasana dingin ini.

“ banyak pak, buku gambarnya saja ada banyak, semuanya berisi gambar-gambar dia,” terang ayahnya wawan.

“mau lihat gambar-gambarnya?”, lanjutnya bertanya.

Tanpa menunggu jawabanku ayahnya wawan yang menurut perkiraanku sudah berumur sekitar 50 tahunan itu perlahan masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa dua buah buku gambar ukuran sedang.

“ ini pak, dua buku gambarnya yang terakhir sering ia coret-coret”, ucapnya sambil tersenyum, ada sedikit kebanggaan yang muncul dari senyum kecil itu.

Perlahan kubuka-buka buku itu. Seperti yang sudah ku duga, gambar-gambarnya berisi ekspresi perasaannya, ada juga yang berisi keinginan-keinginannya. Misalnya ada goresan pensil yang menggambarkan sosok lelaki memakai baju putih, berkalung stetoskop dan ada lambang palang merah di latar belakangnya. Aku tersenyum, wawan mungkin bercita-cita menjadi dokter seperti anak-anak lainnya. Di gambar yang lain aku melihat goresan yang menggambarkan sosok lelaki dengan seragam mirip polisi dan menggenggam pistol. Aku tersenyum.

“ ah, anak-anak terkadang punya banyak cita-cita”, aku berkata di dalam hati.

Sambil membuka halaman demi halaman aku menikmati interpretasiku terhadap setiap goresan yang dibuat oleh anak yang tidak biasa itu. Terkadang aku tersenyum, bahkan ingin tertawa meski harus kutahan, karena situasinya jadi tidak etis untuk tertawa. Selanjutnya aku membuka halaman terakhir dari buku gambar yang kedua ini. Aku terdiam, tidak ada senyum kali ini. Mataku masih menatap menelusuri setiap sosok gores yang tergambar itu. Rasanya nafasku tertahan di tenggorokan.

Di gambar itu aku melihat gambaran sesosok anak kecil dengan pakaian panjang seperti jubah. Sementara itu ada goresan tajam di latar belakang sosok itu, seperti sepasang sayap. Sosok anak kecil itu seperti sedang berada di langit malam, karena ada beberapa gambar bintang yang bertaburan. Namun ada gambar lain di sana yang berbeda dari bintang. Gambarnya seperti bunga, hanya saja bunga-bunga itu digoreskan dengan garis-garis tajam, seolah ingin memberi kesan bercahaya layaknya bintang. Jangan-jangan ini adalah kembang api. Tiba-tiba aku jadi teringat wawan yang tadi sedang menggambar di langit malam. Dengan spontan aku menoleh ke langit.

Di langit malam itu aku melihat wawan sedang dikelilingi bunga bercahaya yang ia gambar sendiri. Tenyata karena ia tidak bisa mendapatkan kembang api untuk menjadi bunga bercahayanya maka ia menggambarnya sendiri. Wawan nampak gembira, ia tertawa-tawa kecil dikelilingi oleh bintang dan bunga bercahayanya. Aku pun perlahan melihat sepasang sayap berwarna putih mulai merekah di punggungnya, menjadikannya sosok yang anggun. Masih tertegun, aku kembali melihat gambar ditanganku. Aku tersenyum. Langit malam tahun baru ini jadi terasa berbeda.



Bandar Lampung
01-06 Januari 2008
(Pengarang: S. Sumanjaya)