Wednesday, April 11, 2007

Ketidakwarasanku

Berkali-kali kupencet tombol call ponselku untuk menghubungimu namun berkali-kali juga aku menerima jawaban kalau nomor yang aku hubungi ini tidak aktif atau berada di luar service area. Aku tidak mengerti kenapa hal ini kau ulangi lagi, kau mencoba pergi tanpa mengetuk pintuku. Apa mungkin kau memang sedang tidak aktif untuk mengenang cerita kita yang sepenggal lalu, kau juga tidak aktif untuk merasakan sentuhanku yang perlahan itu. Yang aku tahu engkau adalah perempuan yang selalu percaya pada dirinya sendiri dan mencoba untuk selalu aktif dalam melihat apapun. Engkau tidak pernah menghindar ketika perempuan yang lain menghindar di saat bumi kita semakin ditinggalkan.

Yang kuingat engkau hanya menghindar terhadap kegilaan. Di hari itu, yang sampai sekarang selalu kau ingat, engkau lari menghampiriku. Jujur saja baru kali itu ada seorang perempuan yang lari demikian histerisnya kepadaku. Sempat aku bertanya ada apa gerangan sehingga engkau berlari sambil meneriakkan namaku. Belum sempat aku bertanya engkau sudah menjawab kalau ada orang gila yang mengejarmu. Kau ceritakan dengan nafas yang masih memburu bagaimana rupa orang gila itu, bagaimana ia mengikutimu dan bagaimana engkau mencoba menghindar darinya. Jujur pula aku menjadi demikian emosi saat itu. Kenapa harus ada orang gila lagi yang menggilaimu. Tidakkah cukup aku seorang yang menggilaimu. Ternyata orang gila bisa juga merasakan bagaimana caranya kagum kepada seorang perempuan sepertimu.

Aku masih ingat bagaimana ketakutanmu pada saat itu,

“ untung aja tadi, kalau nggak entah gimana kali” katamu

Apa yang kau maksudkan dengan untung itu. Apakah engkau merasa beruntung karena dorongan takdir menuntunku untuk datang menghampirimu saat itu. Kalau untuk itu engkau tidak perlu merasa beruntung karena justru akulah yang merasa beruntung untuk melihat wajahmu saat kau panik, saat kau takut sehingga kau merasa perlu untuk memeluk tanganku, meski kau malu-malu saat itu.

Aku mencoba menenangkanmu saat itu sambil menghiburmu dengan candaan kecil hingga engkau kembali tertawa dan tersenyum. Tawa dan senyum itu menyimpan suatu ungkapan yang aku tahu enggan kau katakan. Ada ungkapan terima kasih yang kau sembunyikan. Tidak masalah buatku, karena dalam hal itu kita punya kesamaan. Sama-sama berpendapat bahwa ungkapan terima kasih akan lebih baik diungkapkan dengan tindakan, dengan kepercayaan. Dan dengan kepercayaan itu pula aku melepas engkau pergi dengan ucapan ringan agar kau hati-hati diperjalanan.

Itu adalah kenanganku yang paling dalam sekaligus juga yang paling mendasari isi di balik tiap pertemuan kita selanjutnya. Aku tahu pertemuan selanjutnya terkadang berjalan biasa saja bahkan terkadang terlalu singkat untuk memberi cerita. Kita yang keras kepala itu hanya bisa mengenang cerita tentang orang gila itu sambil tersenyum senyum. Di saat itu aku baru sadar bahwa orang gila terkadang bisa memberi manfaat yang besar. Dia bisa merekatkan kepercayaan di antara kita. Karena sejak saat itu aku merasa kau memposisikan aku pada tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Mungkin karena posisimu sebagai wanitalah sehingga engkau enggan mengungkapkan sebagai apa aku di dirimu. Hanya ada penggalan-penggalan kejadian yang ingin saja aku simpulkan dengan percaya dirinya namun aku belum berani. Aku masih terserak saat itu. Penggalan-penggalan itu ingin saja aku kumpulkan kemudian kurangkaikan lalu ku bingkai menjadi hiasan paling indah. Namun aku masih perlu waktu untuk melakukannya.

Aku memang tak ingin terlalu cepat menyimpulkan apa yang kau simpulkan tentangku. Meski aku bisa saja merasa lebih ketika kau beritahu aku kepada siapa saja kau berikan gembiramu dan kapan saja saja transit di kota ini. Aku juga belum berani menyimpulkan ketika kau datang di penggal kenangan yang tidak kuduga sebelumnya sambil membawa bingkisan buatku. Kau membawa harapan yang makin berpijar terang. Semakin terang lagi ketika kau menjadi busur panah yang membantuku menggapai suatu titik di langit. Semakin besar rasa itu.

Karenanyalah aku mulai gila. Mulai jadi penghuni jalan hanya karena harus menunggumu yang datang terlambat. Aku juga mulai jadi pengawal yang sekedar ingin membuatmu nyaman. Aku juga kau angkat sebagai pembimbingmu yang mengembara ke sebrang hanya untuk mencari pelengkap masa depanmu. Sudah demikian namun tetap saja belum berani aku lebih jauh menerobos selaput yang menjaga jarak rasa kita saat itu. Aku hanya menunggu diriku untuk sampai pada satu titik yang bisa kuteruskan untuk menulis kata sayangku padamu.

Semakin lama aku semakin punya apa yang kuinginkan untukmu dan karenanya aku merasa semakin perlu untuk mendekatkan perahuku ke dermaga yang dipenuhi dengan cahayamu. Namun entah mengapa di saat itu aku justru merasa kau semakin ingin jauh dariku. Kau perlahan mencoba memudar dari minggu-minggu yang berlalu seperti kereta malam. Yang kau sisakan hanya gerbong-gerbong kata yang singkat. Gerbong-gerbong kata yang hadir di kala malam membukakan pintunya untuk ku hampiri. Gerbong-gerbong kata yang makin jarang kita tukarkan, yang kita berikan senyum dan yang menjadi pengantar mimpi kita saat pintu malam akan kita tutup.

Deretan kata yang terakhir kau bingkiskan ada di minggu yang lalu. Di saat itu kau memintaku untuk menunda pertemuan denganmu. Sambil meminta maaf dan berharap agar aku mengerti kau tunda saat yang ingin ku potret dengan indah. Tapi biarlah, bukankah selalu ada pengertian yang mengikatkan kepercayaan kita. Aku hanya berharap agar penudaan itu bukan berarti kau hanya ingin mencari alasan bahwa apa yang terjadi selama ini adalah kesalahan dan tidak mestinya kita seperti ini. Karenanya aku masih menjaga lilin harapan yang kita nyalakan bersama agar tidak redup terlebih lagi mati demikian cepatnya.

Namun di saat ini aku teramat resah. Aku tahu siapa dirimu tapi kali ini engkau demikian lain. Tak biasanya aku seperti ini. Tidak meninggalkan kata-kata yang berderet. Tidak bisa kuhampiri di pintu malam. Bukan hanya malam ku coba mengetuknya namun pagi, siang dan sore pula tapi aku semakin tidak tahu dimana pintu malammu. Meski aku adalah karang namun aku rapuh jadinya. Karenanya tunjukkan padamu dimana engkau meletakkan pintumu sehingga aku bisa mengetuknya lagi. Tolonglah aku yang makin tidak waras ini.



BDL,26/01/2005
03.00 wib

No comments: