Thursday, May 10, 2007

JUNI

Masih saja aku merindu ramai, kehadiran Juni yang kembali dari lorong-lorong yang menelannya dahulu. Saat lolong lolong panjang membolongi rasaku dengan ketiadaan yang tiba-tiba, aku tak pernah menyangka. Yang Maha, aku tahu kau menginginkan sesuatu dariku, kau melihat sesuatu padaku maka Kau berikan ini di saat ku ingin mendekati. Aku tahu rasa perih dan juga rasa manis tapi tak kupahami keduanya tercampur aduk, terlarut dalam rasa yang baru.

Yang Maha, Juni ternyata masih menantiku. Aku melihat dia melambaikan tangannya kepadaku dari puncak bukit di sana, kulihat juga ia bertepuk-tepuk mencoba meyakinkanku bahwa ia yang memanggilku. Apa yang harus kulakukan, aku yang harus berlari mengejarnya ke atas bukit itu meski berkeringat dan kehabisan energi, aku punya harapan dia akan menungguku dan memberiku rasa untuk melarutkan rindu yang membeku. Tapi apakah dia akan begitu, menungguku?. Ataukah dia akan pergi saat aku belum lagi sampai mendaki tebing demi tebing yang menjadi tembok di antara harap dan nyata kita.

Ataukah aku yang memintanya untuk turun menghampiriku dengan wajah rindu yang seolah-olah. Yang pasti aku yakin itu perlu kerja yang keras, mungkinkah rindunya lebih beku dari rindu yang kumiliki sehingga dengan keadaan apapun dia akan tetap berusaha menghampiriku meski aku tak ingin menghampirinya. Dan akan kulihat dia yang berlari turun dengan tergesa-gesa dengan wajahku yang lekat di matanya hingga ia menghampiriku sebelum angin menerbangkannya dari hadapan yang gigil ini.

Bimbang ternyata bisa hidup berabad-abad, dia tidak juga bisa hilang, bahkan dia semakin lama semakin meradang dan menggerogoti yakinku yang memang sedikit. Tapi kenapa selalu saja muncul rasa di saat ku tak jua mengerti yang mana bimbang dan yang bukan bimbang, atau yang mana rasa dan yang bukan rasa, serta yang mana aku dan yang mana yang bukan aku.

Yang Maha, masihkah Juni memberikan janjinya yang tersimpan dengan rapat dalam bingkisan MU ?


BDL, 270604: 23,22 WIB

Tajamnya Pedang

Bukan seribu atau sepuluh namun hanya satu kilau yang masih kunantikan saat lepas datang untukku. Ya, aku kehilangan semuanya ketika sang kala belum lagi terasa, ketika benih belum lagi tunas. Memang sang kala adalah pedang, ia membelah dengan cepat di dada sehingga tanpa terasa aku kehilangannya. Pedang yang terbuat dari kata-kata di saat-saat pertemuan kita belum pernah terasa begitu tajamnya. Tajam itu ditempa oleh ingin dan andai yang berpijar hingga memancarkan panasnya kedalam perasaanku. Tajam itu terasah oleh tatap yang terasa secara perlahan dan menyentuh kagumku. Memang aku tak bisa menggenggam, meraih dan mengacungkannya ke udara seperti kisah pertempuran yang melahirkan heroisme, bahkan aku tak bisa menatap kilaunya karena ia teramat menyengat menyilaukan mata yang enggan berpaling.

Ellena, kau sendiri yang menancapkan pedang itu di antara dadaku dan kau telah mengalirkan merahnya darah untuk kemudian hilang dalam pori-pori bumi. Bagimu pedang yang kubuat itu tak layak untuk kau miliki, ia hanya pantas kembali menjadi bagian dari diriku, entah ada di mana. Tapi kau tak harus menancapkannya di dada, tancapkan saja di perut, kaki atau tanganku sehingga dengan demikian aku masih punya detak yang sanggup menggerakkan untuk kembali menempa dan mengasah pedang yang kuciptakan. Dada adalah bagian yang menjadi bara untuk memanasi perapian yang menempa pedang itu, dada adalah batu asah yang menajamkan pedang sehingga ia tetap mampu membelah rindu yang hendak mematahkannya.

Ellena, sungguh aku tak sanggup menahan robeknya dadaku karena pedang yang menusuk dada ini, terasa begitu dalam menghancurkan. Tak inginku melepas wajahmu yang lekat di wajahku saat kau menahan tubuhku yang gontai karena kau siram bara api dengan kebekuan dan kau pecahkan batu asah dengan angkuh. Ellena, tak seharusnya kau tusuk aku seperti ini untuk kemudian kau cari pembuat pedang yang lain dan kau hancurkan lagi.




Bandar Lampung, 10 May 2004,
00:30 WIB