Thursday, May 10, 2007

Tajamnya Pedang

Bukan seribu atau sepuluh namun hanya satu kilau yang masih kunantikan saat lepas datang untukku. Ya, aku kehilangan semuanya ketika sang kala belum lagi terasa, ketika benih belum lagi tunas. Memang sang kala adalah pedang, ia membelah dengan cepat di dada sehingga tanpa terasa aku kehilangannya. Pedang yang terbuat dari kata-kata di saat-saat pertemuan kita belum pernah terasa begitu tajamnya. Tajam itu ditempa oleh ingin dan andai yang berpijar hingga memancarkan panasnya kedalam perasaanku. Tajam itu terasah oleh tatap yang terasa secara perlahan dan menyentuh kagumku. Memang aku tak bisa menggenggam, meraih dan mengacungkannya ke udara seperti kisah pertempuran yang melahirkan heroisme, bahkan aku tak bisa menatap kilaunya karena ia teramat menyengat menyilaukan mata yang enggan berpaling.

Ellena, kau sendiri yang menancapkan pedang itu di antara dadaku dan kau telah mengalirkan merahnya darah untuk kemudian hilang dalam pori-pori bumi. Bagimu pedang yang kubuat itu tak layak untuk kau miliki, ia hanya pantas kembali menjadi bagian dari diriku, entah ada di mana. Tapi kau tak harus menancapkannya di dada, tancapkan saja di perut, kaki atau tanganku sehingga dengan demikian aku masih punya detak yang sanggup menggerakkan untuk kembali menempa dan mengasah pedang yang kuciptakan. Dada adalah bagian yang menjadi bara untuk memanasi perapian yang menempa pedang itu, dada adalah batu asah yang menajamkan pedang sehingga ia tetap mampu membelah rindu yang hendak mematahkannya.

Ellena, sungguh aku tak sanggup menahan robeknya dadaku karena pedang yang menusuk dada ini, terasa begitu dalam menghancurkan. Tak inginku melepas wajahmu yang lekat di wajahku saat kau menahan tubuhku yang gontai karena kau siram bara api dengan kebekuan dan kau pecahkan batu asah dengan angkuh. Ellena, tak seharusnya kau tusuk aku seperti ini untuk kemudian kau cari pembuat pedang yang lain dan kau hancurkan lagi.




Bandar Lampung, 10 May 2004,
00:30 WIB

No comments: