Saturday, March 31, 2007

Rintik Gerimis

sekedar oleh-oleh perjalanan....

Empat bulan lalu masih teringat ketika aku menabur serpihan sajak cinta di tengah danau. Serpihan-serpihan itu ada yang jatuh ke kakiku, ada yang jatuh ke muka air danau lalu ikan-ikan menyambarnya dengan tergesa dan ada juga yang diterbangkan hembus angin meliuk menuju angkasa bersatu dengan gumpal awan untuk kemudian menjadi hujan.

Kemudian engkau datang dan berlari-lari kecil menembus gerimis yang turun menjelang senja sambil menampung kata-kata yang tersisa dengan kedua tanganmu yang lentik. Kuhampiri dan kuberi tanganku sebagai wadah agar kau terus dapat menampung rintik kata-kata yang hanya sebentar saja. Setelah gerimis itu usai, tak ada cerita yang mengalir dari kedua bibir kita. Kecuali hanya kebisuan yang menambah suasana semakin kelam. “Mana puisi cinta itu?!,” katamu sambil memukul-mukul ruang imajinasiku saat senja makin jelaga dan kita menepi dari danau ini.

Aku tahu, engkau menginginkan puisi cinta lengkap dengan kerinduan dan bisikan mesra yang turun dari gagasku. Bukan sebuah cincin yang sengaja kubuat dari rajutan huruf-huruf dan tanda baca dengan warna-warna yang tak pernah sama. Bukan juga kata-kata di dalam telepon selular yang tak pernah berdering seperti orang membaca puisi dengan suara nyaring. Ini penting untuk kuceritakan.

Kata-kataku telah lahir prematur tanpa ibu, ia meraung-raung bertanya tentang engkau dihari lahirnya dan waktu tumbuh ia menggambar wajah ibu di atas danau sampai kemudian ia mengembara seperti gelandangan yang terbuang. “Maukah engkau menjadi ibu dari kata-kataku?” tanyaku suatu ketika di dalam mimpi suatu pagi. Kemudian engkau terdiam dan melempariku dengan titik dua koma dan tanda tanya dan kau berhenti menangkup kata-kata yang turun bersama gerimis yang semakin sering datang, kau masih diam.

Kue donat dan sandal jepit menemaniku melewati gugusan waktu dalam bentangan cakrawala sambil menunggu kabar berita. Sungguh, ini cerita yang tak menuntut apa-apa, ia genangan sehabis hujan yang membekukan tanganku sehingga tak lagi bisa menabur sajak cinta agar kau kembali. Kata-kata yang turun bersama gerimis itu kini mengalir begitu saja, tak lagi ada yang menampung dengan tangannya yang lentik. Sementara aku memilih menjadi angin yang berhembus membawa rintik gerimis bersama puisi cinta dari kota ke kota.

KUPU-KUPU MATAHARI

Tulisan ini sepertinya tersinspirasi oleh perjalanan virtualku antara “lampung-bandung” yang menggugah rasa, ya inspirasi tak bisa di duga toh.....

Pagi ini aku tak lagi melihat kupu-kupu yang biasanya berkejaran di antara kelopak dan tunas muda daun yang dibasuh oleh embun sisa semalam. Kadang-kadang aku merasa kalau kupu-kupu itu diciptakan bersama dengan matahari. Matahari dan kupu-kupu diciptakan sebagai bentuk senyum Yang kuasa kepada bumi, begitu indah mengwali hari bersama mereka. Aku merasa kalau terbitnya matahari adalah lahirnya generasi baru kupu-kupu yang akan mengisi taman kecilku. Kupu-kupu itu akan mengisi ruang di antara bunga-bunga kecil dan ranting pohon cemara udang yang meneduhkan seringai pagi hingga melewati helai-helai dedaunan dan kuncup bunga sepatu yang pernah kutanam.

Setiap pagi aku melihat kupu-kupu yang sama, berwarna cerah dengan bintik-bintik hitam di kedua sayap rapuhnya. Terkadang aku bisa merasakan hembusan angin yang mereka ciptakan dari kelepak sayapnya. Angin yang sangat lembut. Terkadang jua aku merasa bisa menatap mata mereka yang melihat diriku dalam seratus bayangan. Aku beri senyum setiap mereka menatapku sebentar, lalu kuucapkan selamat pagi, selamat mengawali hari dan sampai ketemu nanti sore. Begitu seterusnya selalu ada kupu-kupu yang datang bersama dengan matahari pagi sampai satu tahun yang lalu.

Pagi itu aku tidak berjumpa dengan seekor kupu-kupu yang datang bersama dengan matahari. Aku penasaran. Ku tunggu hingga beberapa menit. Dugaanku kalau kupu-kupu terlambat bangun pagi di hari itu, mungkin karena sehabis bekerja hingga larut malam sama sepertiku atau juga mungkin karena air mandi yang habis sehingga dia harus tergesa-gesa menimba sumur. Ah, sudah tiga puluh menit. Matahari pun sudah mulai bersemangat jalani hari. Selalu ada kemungkinan yang baik dalam pikirku untuk kupu-kupu itu.

Esok harinya aku tak jua berjumpa dengan kupu-kupu yang datang bersama dengan matahari pagi. Aku heran. Jangan-jangan kupu-kupu itu sedang sakit atau dia sudah bosan dengan tempat ini dan pergi bermigrasi layaknya burung-burung bangau di musim dingin. Aku masih berpikir positif untuknya. Aku berharap esok hari kupu-kupu itu akan datang bersama matahari pagi lagi. Tapi aku salah. Di pagi yang selanjutnya aku tak jua temukan kupu-kupu itu. Aku mulai merasa kehilangan. Kehilangan sapuan angin lembut di antara kedua sayapnya, tatapan mata yang melihat diriku dalam seratus bayangan atau bintik-bintik hitam diantara sayapnya. Aku rindu. Hari demi hari menjadi bulan, bulan demi bulan menjadi tahun dan aku kesepian. Kehilangan kupu-kupu yang datang bersama matahari pagi.

Pernah aku berpikir tentang kemungkinan bahwa kau ditelan oleh matahari yang kau percaya. Atau mungkin kau dihujani oleh embun yang hempaskan tubuhmu di antara remah-remah hutan. Diantara hari dan bulan itu selalu ingin kucari jawaban atas heranku kenapa kau hilang. Aku mulai merasa salah karena tak mampu membebaskanmu dari penjara pertanyaan ini. Mungkin akulah yang sudah membunuhmu sebelum matahari menjemputmu dipagi buta. Sebelum embun berkumpul meniupkan dingin di ujung malam. Sebelum aku sadar bahwa sebenarnya kupu-kupu itu tak seharusnya berada di sini.

Bdl/ 1 Jan 2007 08.13 wib