Friday, April 6, 2007

Camar dan Chairil

Bila saja ada pelabuhan kecil seperti yang dibicarakan oleh Chairil mungkin aku juga akan menunggunya di sana. Menatap matahari yang terbenam sembari diiringi pekik camar dan gemuruh yang pelan-pelan mengalir dari nafasku. Sambil menghisap angin pantai ke metabolisme rasaku yang gemuruh akan kucandai camar-camar itu. Aku akan ikut memekik dan berkejaran dengan ombak yang sesekali menghempas. Akan akan menari di garis pantai hingga senja menjadi buta. Tapi aku sendiri. Aku berkelana dalam benakku. Bila ada senja yang ingin kubagi bersama Seno maka ingin kuminta bagian yang paling besar agar waktu jadi lama untuk kutapaki.

Bersama Charil mungkin aku akan duduk berdua di dermaga kecil itu, kita akan berdiskusi tentang sastra, tentang pergerakan dan tentang seseorang yang sama-sama kita tunggu. Chairil mungkin akan berbicara tentang Sri Haryati yang dia puja, melihat dia bercerita tentang pertemuan pertamanya, kesan kepadanya membuat kami tertawa-tawa kecil sambil diselingi desahan nafas yang aku tahu bila cinta itu masih terpendam. Chairil tenyata sosok yang rapuh dengan cinta padahal entah berapa puisinya yang aku yakin digilai oleh wanita pemujanya.

Dari raut wajah Chairil aku tahu kalau dia begitu mencintai Sri, aku juga tak mengerti kenapa Sri begitu berbeda dengan wanita yang lain di matanya. Kenapa Sri begitu dingin kepada Chairil, setidaknya dari cerita Chairil aku tahu bila pertemuan-pertemuan mereka begitu singkat bahkan terkadang hanya sapa. Meski Chairil sadar bila pertemuan yang singkat belum cukup memberi kesimpulan bagi Sri kepada dirinya namun ia tak lagi sanggup berkata. Sri adalah pisau yang selalu ingin ditancapkan Chairil di dadanya.

Selama waktu itu puisinya hanya puisi pengharapan dan puisi ketakutan akan patah hati. Charil masih menanti. Entah apa yang dinanti. Kulihat wajahnya beku matanya menatap camar yang terbang semakin tinggi lalu terbang ke pulau yang lain karena senja mulai menghitam. Mengganti jingga lembayung dengan taburan titik-titik dan koma di ujung senja. Ombak pun semakin tenang dan pasang akan segera datang. Burung-burung laut pulang ke peraduan malam.

Andai saja Charil tidak mati muda mungkin aku akan bercerita kepadanya bahwa aku melihat camar yang sama seperti yang dia lihat di dermaganya dahulu. Dan saat ini pun aku sedang berdiri menatapnya di kala senja menjelang hitam.



BDl, 5 Des 2004

No comments: