Hari belumlah lagi malam, masih ada petang yang tenang dan sejuk. Masih ada burung-burung senja yang berkicau dan terbang di atas rumah dan halaman. Aku masih sedikit lelah setelah mengikuti sang kala yang sulit untuk kutaklukkan sampai aku sadar bahwa ternyata senja itu adalah wajah manis dari sang kala. Kalau pagi adalah wajah lugu dari sang waktu karena kita masih belum tahu apa yang dilalui dan terlalui nantinya dan kalau siang adalah wajah serius dari sang kala dimana kita sedang berdebat, bercanda bahkan bertengkar dengan detik yang lalui maka senja adalah wajah manis dari waktu dimana ingatan sehari itu menjadi bingkisan benak yang bisa melarutkan emosi.
Di senja ini sambil kuteguk secangkir teh hangat, kubuka bingkisan itu. Bingkisan yang sederhana untuk kubuka pada senja disaat ku sendiri. Ada berbagai sapa, senyum dan perbincangan. Ada bosku yang menegurku keras karena aku belum juga selesai mengerjakan tugasku, ada temanku yang menegurku dan meminjam uang kepadaku, ada juga sahabatku yang terbahak-bahak saat kita bercanda dan ada juga dia yang memberikan senyumnya padaku.
Aku baru sadar kalau dia tersenyum padaku tadi. Padahal selama ini dia sering hilir mudik di hadapanku, dia sering menyapa teman-temanku. Tapi kalau padaku, baru tadi kuperhatikan dia. Ternyata aku salah kalau mengira dia biasa saja hanya karena dia mirip dengan bunga yang lain yang sama-sama berwarna dan mempunyai wangi. Bahkan kurasa dia bukan bunga, dia hanya kelopak tunas daun yang lugu dan menyimpan rahasia tentang kapan dia berbunga dan berbuah. Dengan menjadi tunas daun dia lebih berharga. Ya, aku salah selama ini. Semestinya sudah ada sadar saat pertemuan pertama dahulu agar aku bisa mencermati tunas itu perlahan-lahan berkembang, agar aku menjadi orang pertama yang menjaganya.
Di senja ini aku masih merenung, menerka wajah-wajah yang lain dari sang kala. Menerka seperti apa wajah dari malam. Apakah akan ada yang mengetuk pintuku malam ini? apakah ada wangi yang menyapaku lembut?, kalau pertanyaan itu sering hadir dahulu menegurku dengan ringan atau keras maka malam nanti aku merasa sudah ada sosok yang akan mengetuk pintu dan memberi wanginya kepadaku. Tapi yang masih tak kumengerti adalah kenapa hanya Sophia yang menghampiri pintuku dan mengetuknya saat hari belumlah lagi malam.
Bandar Lampung, 200604
Di senja ini sambil kuteguk secangkir teh hangat, kubuka bingkisan itu. Bingkisan yang sederhana untuk kubuka pada senja disaat ku sendiri. Ada berbagai sapa, senyum dan perbincangan. Ada bosku yang menegurku keras karena aku belum juga selesai mengerjakan tugasku, ada temanku yang menegurku dan meminjam uang kepadaku, ada juga sahabatku yang terbahak-bahak saat kita bercanda dan ada juga dia yang memberikan senyumnya padaku.
Aku baru sadar kalau dia tersenyum padaku tadi. Padahal selama ini dia sering hilir mudik di hadapanku, dia sering menyapa teman-temanku. Tapi kalau padaku, baru tadi kuperhatikan dia. Ternyata aku salah kalau mengira dia biasa saja hanya karena dia mirip dengan bunga yang lain yang sama-sama berwarna dan mempunyai wangi. Bahkan kurasa dia bukan bunga, dia hanya kelopak tunas daun yang lugu dan menyimpan rahasia tentang kapan dia berbunga dan berbuah. Dengan menjadi tunas daun dia lebih berharga. Ya, aku salah selama ini. Semestinya sudah ada sadar saat pertemuan pertama dahulu agar aku bisa mencermati tunas itu perlahan-lahan berkembang, agar aku menjadi orang pertama yang menjaganya.
Di senja ini aku masih merenung, menerka wajah-wajah yang lain dari sang kala. Menerka seperti apa wajah dari malam. Apakah akan ada yang mengetuk pintuku malam ini? apakah ada wangi yang menyapaku lembut?, kalau pertanyaan itu sering hadir dahulu menegurku dengan ringan atau keras maka malam nanti aku merasa sudah ada sosok yang akan mengetuk pintu dan memberi wanginya kepadaku. Tapi yang masih tak kumengerti adalah kenapa hanya Sophia yang menghampiri pintuku dan mengetuknya saat hari belumlah lagi malam.
Bandar Lampung, 200604
No comments:
Post a Comment