tidak ada puisi hari ini
mungkin juga selamanya
aku tak punya alasan untuknya
tak ada bingkisan yang harus kuberikan bersamanya
tak jua bingkai untuk memadangnya
di saat aku jauh
mungkin tak lagi ada puisi
yang teruntuk siapa
BDL, 27/12/06
Saturday, June 2, 2007
Tak Lagi Ada Puisi
Posted by soemandjaja at 3:55 PM 0 comments
Labels: puisi
Aku 3
biarlah aku bercinta lagi dengan kenangan kita
kucumbu slide-slide pertemuan kita
ku basuh abstraksi dirimu
kupeluk sapamu yang mengikatkan rindu
kucium sapa pergimu
aku bahagia, nafsuku memburu
mengejar dirimu
BDL, 6/8/2006
Posted by soemandjaja at 3:53 PM 0 comments
Labels: puisi
Aku 2
bayangmu kembali menyapaku
nostalgia yang kurindu
menyapa engkau di saat subuh mengawali hari
atau malam mengantar lelah kepada mimpi
bersama lagumu yang menjelma engkau
aku merindumu
entah sampai kapan
kupikir ku sanggup gantikanmu
tapi bukan senang kutemu
hanya rindu yang gemericikkan malam
desah dan gores senyumku
bertanya kenapa engkau pergi.
BDL 6 Agustus 2006
Posted by soemandjaja at 3:51 PM 0 comments
Labels: puisi
Kematian semakin larut
: kenangan terhadap Hamid Jabbar
Kerlap kedip sambangi malam
Suara lantang menggetar tajam
Menggelegar hendak menikam
Saat detik dan menit terasa kelam
Ya, Kau yang Maha Digjaya
Beri penggal tiga puluh detik saja
Agar dapat uraikan kuasa
Yang menghitam menjadi jelaga
Agar tiada lagi terasa oleh mereka
Ku tahu dia telah mengetuk
Pintu kubuka untuk dibentuk
Oleh angin gemerisik
Dingin yang gemerutuk
Ya, Penjaga pintu maut
Terima kasih atas menit
Pembuluh yang berdenyut
Pada rentang akhir bergelayut
Meski kutahu yang patut
Bahwa kematian semakin larut
BDL, 31 Mei 2004: 21.33 WIB
Posted by soemandjaja at 3:47 PM 0 comments
Labels: puisi
Pahit yang manis
: untuk Alm. Nurdin Febriana
Tak ada ketuk dipintu
pula bisik tertiup ditelinga
ketika kau harus berhenti
menggores pena di lembar ini
masih aku menyimpan karya dari letih kita
pula menempel sang ketika pada ku
kau pergi tak pamit
kuasa memang segala
pahit harus ada agar manis terasa
yang indah dari malam adalah malam
bukan bulan atau bintang
tapi gelap
kita tak lagi menulis
tunjukkan risalah itu di sana
tentang engkau dan kita
mengisi ruang
menikmati ritme dan fantasi
tanpa harus berdebu
BDL, 23 Februari 2004
Posted by soemandjaja at 3:47 PM 0 comments
Labels: puisi
Menulis kisah
Aku ingin menggores
menggoreskan pena di atas kertas
yang makin lama makin kumal
karena tidak pernah lagi kutuliskan kisah di sana
tapi apa yang harus kutulis
Aku sempat gamang
ingin menulis kisah kita
saat bingkai kado merah jambu
kuberikan padamu
tapi aku tak kuasa
menuliskan kisah
demikian nyata
BDL, 21 Januari 2004
Posted by soemandjaja at 3:46 PM 0 comments
Labels: puisi
Aku
Aku tak punya setitik rindu untukmu
Karena kering masih menghanguskan hati
Aku lelah menanti hujan
Yang tak tahu kapan datang
Aku masih mencarimu
Ada sedikit embun
Yang ku tahu
Amat berharga datangnya
Bagiku…
BDL, Januari 2004
Posted by soemandjaja at 3:42 PM 0 comments
Labels: puisi
Keracunan Kata
Aku melihat kerbau kemarin berjalan di trotoar pinggir sungai. Ia menatap sungai yang mengalir menembus kota membawa sampah, kotoran pabrik, rumah tangga dan manusia. tapi sesekali orang-orang yang sedang memancing di tepi sungai sambil berharap kaya itu juga melihat ada kotoran kata-kata yang mengalir. Kata-kata itu tidak kelihatan kusam, ia bersinar, memancarkan kemegahan, siapapun yang melihatnya pasti menganggapnya sebagai emas, permata dan sebagainya. Tapi semua terkejut ketika suatu hari surat kabar kota terbit pagi di samping kolom artis yang sedang mengundang birahi, memberitakan bahwa ada orang yang sekarat karena keracunan kata-kata. Wajahnya membiru, dari mulutnya keluar busa yang mengeluarkan bau kotoran, dan kalau ditengah malam orang itu akan mengigau dengan keras. Terkadang ia berteriak,
“ aku tidak melakukannya, tidak”
suatu saat juga ia mengigau dengan sedikit berbisik,
“ aku melakukannya, mereka saja yang tidak bisa membuktikannya”
setelah itu ia sering tertawa-tawa sendiri, bangun pagi ketika sang istri menyiapkan matahari pagi dengan nasi goreng buatan katering perumahan di atas piring kristal dengan sendok garpu dari perak. Atau ketika ia mandi pagi dengan spa yang dilengkapi dengan televisi sambil membaca koran pagi.
Tapi koran pagi baginya hanya kebohongan, berita tentang anak yang diperkosa paman, kakek bahkan ayahnya sendiri adalah kebohongan baginya karena ia yakin bukan paman, kakek atau ayah yang memperkosa si anak tapi si anak itu yang telah memperkosa dirinya sendiri, make up tebal, pakaian ketat, lekuk dan buah ditubuhnya untuk dipetik, entah nanti atau sekarang. Maka tertawalah sebelum orang lain yang terbahak-bahak.
Ia kembali tertawa. Ia berpikir kalau ia dahulu lebih cerdas dalam soal perkosa memperkosa ini. Istrinya yang artis itu ia peroleh dari hasilnya memperkosa, tapi bukan ia yang diperkosa sebab ia masih bisa bersabar ketika rembulan menjadi viagra di dalam kamar 133. Tapi mana mungkin artis menyukai atau bahkan meliriknya sebentar saja kalau ia tidak berani memperkosa. Mereka yang tinggal di bantaran kali dan di tepi rel kereta api pernah merasakan bagaimana diperkosa olehnya. Mereka pernah merasakan bagaimana menjadi pelampiasan nafsunya.
Memang untuk urusan seperti itu seharusnya saling menikmati, tapi justru itu yang membedakan antara sang istri, sang pelacur dengan sang korban, kalau sang istri memancarkan bintang di matanya dan bernyanyi pop melayu di telinganya dan setelah itu dibayar dengan uang belanja, uang anak sekolah dan uang-uang lainnya yang ditodongkan kepadaku maka sang pelacur memancarkan petromak di matanya, kausnya harus sering diganti kalau tidak semuanya jadi gelap waktu jabang bayi lahir, ia bernyanyi lagu dangdut yang basah-basah seluruh tubuh itu dan ia dibayar seperti sopir angkot mencari nafkah. Yang tidak menyenangkan menjadi sang korban adalah suplai energi, atau yang sering dibilang PLN sebagai pasokan daya, bagi sang korban apalah daya, hanya ada sedikit boklam 5 watt itupun kalau tidak mati lampu, lagu yang diputarkan mirip dengan aliran musik amerika yang jerit-jerit itu, entah apa namanya underground, hip hop atau apalah. Jadi tidak mungkin kalau semuanya dapat diatasi dengan peningkatan investasi seperti yang dibilang pak tua yang sudah keracunan kata-kata itu.
Akhirnya aku demam dan sepertinya juga sudah keracunan kata-kata, di badanku muncul bintik-bintik biru, ada juga yang merah dan ada yang putih karena setiap hari kusiram semua; Aku muntah darah, trombositku turun ke kadarnya yang paling rendah sekitar 25,5 kalau nggak salah, minum jambu merah sudah kucoba, jambu monyet juga padahal aku paling benci dengan binatang itu, jadi mengingatkan kepada orang itu. Lama kelamaan aku merasa lemah, tekanan darahku menjadi jauh di bawah normal sekitar 75 Rpm.
Aku tahu umurku semakin pendek karena di kepalaku mulai tumbuh tanduk dan aku punya moncong meski tidak putih, padahal aku belum pernah memperkosa, korban tidak pernah, pelacur hanya penyakit bagiku, istri pun masih dalam proposal. Lalu apa salahku? Aku keracunan kata-kata karena telah memperkosa diri sendiri.
BDL, 17 Maret 2004: 14,18
Posted by soemandjaja at 3:34 PM 0 comments
Labels: cerpen